Pulang kantor jalanan masih agak macet. Kantorku berada di daerah
Harmoni. Pada jam-jam sibuk tentu saja macet total. Langit agak mendung,
tapi dugaanku sore sampai malam ini tidak akan turun hujan. Dengan
langkah sedang aku keluar kantor dan berjalan ke arah Juanda, rencana
naik bis dari sana saja. Maklum karyawan baru, jadi masih naik Mercy
dengan kapasitas besar.
Sampai di Juanda aku cari bis kota tujuan ke Senen. Sebentar kemudian
datang bis kota yang sudah miring ke kiri. Aku naik dan menyelinap ke
dalam. Aroma di dalam bis sungguh rruarr biasa. Segala macam aroma ada
di sana. Mulai dari parfum campur keringat sampai bau asap dan
lain-lainnya.
Tak lama aku sampai di Senen. Turun di Pasar Senen dan masuk ke
dalamnya. Ada beberapa barang yang harus kucari. Putar sana putar sini
nggak ketemu juga yang kucari. Malahan digodain sama kapster-kapster di
salon lantai 2. Dengan kata-kata yang menjurus mereka merayuku untuk
masuk ke salonnya. Kubalas saja godaan mereka, toh aku juga lagi nggak
ada keperluan ke salon. Sekedar membalas dan menyenangkan mereka yang
merayu untuk sekedar gunting, facial atau creambath.
Akhirnya kuputuskan untuk cari di Atrium saja. Aku nyeberang di dekat
jembatan layang. Memang budaya tertib sangat kurang di negara ini.
Senangnya potong kompas dengan mengambil resiko.
Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam Atrium, mataku tertuju pada
seorang wanita setengah baya, kutaksir umurnya tiga puluh lima tahun. Ia
mengenakan blazer hijau dengan blouse hitam. Pandangannya kesana kemari
dan gelisah seolah-olah menunggu seseorang. Aku lewat saja di depannya
tanpa ada suatu kesan khusus. Sampai di depannya dia menyapaku.
“Maaf Mas mengganggu sebentar. Jam berapa sekarang?” tanyanya halus. Dari logatnya kutebak dia orang Jawa Tengah, sekitar Solo.
“Aduh, sorry juga Mbak, saya juga tidak pakai jam,” sambil kulihatkan
pergelangan tanganku.”Mbak mau kemana, kok kelihatannya gelisah?”
tanyaku lagi.
“Lagi tunggu teman, janjian jam setengah lima kok sampai sekarang belum muncul juga” jawabnya.
“Ooo..” komentarku sekedar menunjukkan sedikit perhatian.
“Mas mau kemana, baru pulang kantor nih?” dia balik bertanya.
“Iya, mau beli sesuatu, tadi cari di Proyek nggak ada, kali-kali aja ada di Atrium”.
Akhirnya meluncurlah dari mulut kami beberapa pertanyaan basa-basi standar.
“Oh ya dari tadi kita bicara tapi belum tahu namanya, saya Vera,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Anto,” sahutku pendek, “OK Vera, saya mau jalan dulu cari barang yang saya perlukan”.
“Silakan, saya masih tunggu teman di sini, barangkali dia terjebak macet atau ada halangan lainnya”.
Kami berpisah, saya masuk ke dalam dan langsung ke Gunung Agung. Kulihat
Vera masih menunggu di pintu Atrium. Setengah jam keliling Gunung Agung
ternyata tidak ada barang yang kucari. Kuputuskan pulang saja, besok
coba cari di Gramedia atau Maruzen. Aku keluar dari pintu yang sama
waktu masuk, arah ke Proyek. Kulihat Vera masih juga berdiri di sana.
Kuhampiri dia dan kutanya.
“Masih ada disini, belum pulang?”.
“Ini mau pulang, besok aja kutelpon dia ke kantor,” jawabnya.
Waktu itu, 1994, HP masih menjadi barang mewah yang tidak setiap orang dapat memilikinya.
“Mbak naik apa?”
“Oh, saya bawa mobil sendiri, meskipun butut”.
“OK, kalau begitu saya pulang, saya naik Mercy besar ke Kampung Melayu”.
Dia kelihatan agak berpikir. Baru pada saat ini aku mengamati dia dengan
lebih teliti. Tingginya kutaksir 158 cm, kulitnya kuning kecoklatan,
khas wanita Jawa dengan perawakan seimbang. Rambutnya berombak sebahu,
matanya agak lebar dan dadanya standar, 34.
“Kenapa, something wrong?” kataku.
“Nggak, nggak aku juga mau jalan lagi suntuk. Rumah saya di Cinere, jam
segini juga lagi full macet” sambil memandangku dengan tatapan yang
sulit kutafsirkan.
“Boleh saya temani,” sahutku asal saja. Jujur aku hanya asal berkata
saja tanpa mengharap apapun. Dia menatapku sejenak dan akhirnya..
“Boleh saja, kalau nggak mengganggu” jawabnya.
Kami menuju basement tempat parkir mobilnya. Dia memberikan kunci mobilnya padaku.
“Bisa bawa mobil kan?” tanyanya.
Aku terkejut, karena aku memang bisa nyetir mobil tapi masih belum lancar sekali dan tidak punyai SIM.
“Aduh, so.. Sorry, jangan aku yang bawa. Aku nggak punya SIM,” kataku mengelak.
“Baiklah kalau begitu, biar aku sendiri yang bawa,” katanya sambil tersenyum.
Vera naik mobil dan membukakan pintu sebelah kiri depan dari dalam.
Mobilnya Suzuki Carry warna merah maron. Kulihat di atas jok tengah
berserakan map dan kertas.
“Kemana kita?” katanya.
“Terserah ibu sopir saja, asal jangan ke Bogor, jauh” sahutku bercanda.
“Kita ke Monas saja deh” katanya sambil terus tetap menyetir.
Karena dia mengenakan rok span selutut, jadinya waktu duduk menyetir
agak ketarik ke atas, pahanya terlihat sedikit. Aku menelan ludah.
Monas terlihat sepi sore ini, jam di dashboard menunjukkan 17.55. Hanya
ada beberapa mobil yang parkir di pelataran parkir. Vera memarkir
mobilnya agak jauh dari mobil lainnya. Ia mematikan kontak dan membuka
jendela. Kami tetap duduk di dalam mobil.
“Uffh, hari yang melelahkan”. Vera menyandarkan tubuh dan kepalanya pada
jok mobil. Blazernya tidak dikancingkan sehingga dadanya kelihatan
menonjol.
“Ngomong-ngomong Mas Anto ini kerja di mana?”
“Karyawan swasta, kantornya di Harmoni, Mbak Vera sendiri di mana?” balasku.
“Saya agen sebuah Asuransi BUMN, rencananya tadi dengan teman saya,
Dewi, akan prospek di sebuah kantor di Kramat, makanya janjian di
Atrium. Eh, dianya nggak datang. Eh, bagaimana kalau kita masing-masing
panggil dengan nama saja tanpa sebutan basa-basi supaya lebih akrab. Toh
umur kita nggak jauh berbeda. Aku tiga puluh lima, kutaksir kamu
paling-paling tiga puluh”.
Ternyata taksiranku tepat, taksirannya meleset. Waktu itu umurku sendiri
baru dua puluh lima. Mungkin karena warna kulitku agak gelap dan
berkumis maka wajahku kelihatan lebih tua. Tapi menurut teman-temanku
baik perempuan ataupun laki-laki, dengan wajah cukup ganteng, tinggi 170
cm, perawakan tegap, berkumis dan dada berbulu aku termasuk idaman
wanita.
Vera ternyata seorang janda dengan satu anak. Ketika kutanya kenapa dia
bercerai, air mukanya berubah dan ia menghela napas panjang.
“Sudahlah, itu kenangan buruk dari masa laluku, tak usah dibicarakan lagi” katanya.
“Baiklah, maaf kalau sudah menyinggung perasaanmu,” kataku.
Senja semakin merambat, lampu jalan sudah mulai dinyalakan mengalahkan
temaram senja. Di bawah lampu merkuri wajah Vera terlihat pucat.
Tiba-tiba saja kami bertatapan. Vera terlihat sangat lelah, tapi
bibirnya dipaksakan tersenyum. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja
tangan kananku sudah kulingkarkan di lehernya dan kurengkuh ia ke dalam
pelukanku. Kucium bibir tipisnya dan ia membalasnya dengan melumat
bibirku lembut. Kami saling memandang dan tersenyum.
“Anto, maukah kamu menemaniku ngobrol?”
“Lho, bukankah sekarang ini kita lagi ngobrol”.
“Maksudku, kita cari.. Nggh.. Tempat yang tenang”.
Kucium bibirnya lagi dan ia membalas lebih panas dari ciuman yang pertama tadi. Tanpa kujawab mestinya ia sudah tahu.
“Ayo kita berangkat,” ajaknya sambil menghidupkan mesin mobil.
“Baiklah kita ke arah Tanah Abang saja yuk,” jawabku.
Dari Monas kami menuju ke Tanah Abang. Kami sempat terjebak kemacetan di
sekitar Stasiun Tanah Abang. Akhirnya kuarahkan dia ke Petamburan.
Kulihat dia ragu-ragu untuk masuk ke halaman sebuah hotel.
“Ayolah masuk saja, nggak apa-apa kok. Hotelnya cukup bersih dan murah” kataku meyakinkannya.
“Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin mobilku terlihat secara mencolok
di halaman hotel” sahutnya. Akhirnya kami mendapatkan tempat parkir yang
cukup terlindung dari jalan umum.
Setelah membereskan urusan di front office, kami masuk ke dalam kamar.
Kuamati sejenak keadaan di dalam kamar. Di dinding sejajar dengan arah
ranjang dipasang cermin selebar 80 cm memanjang sepanjang dinding. Aku
tersenyum dan membatin rupanya hotel ini memang dipersiapkan khusus
untuk pasangan yang mau kencan.
“Kamu sering masuk ke sini, To? Kelihatannya sudah familiar sekali” tanyanya.
“Nggak juga. Namanya nginap di hotel kan tahapannya standar aja. Lapor
ke front office, serahkan ID, bayar bill untuk semalam lalu ambil kunci
kamar. Beres kan?”
“Kalau lagi prospek, bagaimana pengalamanmu. Sering dijahili klien nggak” tanyaku memancing.
“Yahh, ada juga yang iseng. Tapi kalau orangnya oke, boleh juga sih. Sudah dapat komisi plus tip plus enak gila”.
Ternyata beginilah salah satu sisi dunia asuransi. Saya nggak menghakimi, tetapi semua itu kembali tergantung pada orangnya.
“Aduh, kalau begitu saya nggak bisa kasih tip. Kita pulang saja yuk” kataku pura-pura serius.
“Huussh.. Kamu kok nganggap saya begitu sih”.
Kami berbaring berjejer di ranjang yang empuk. Vera tengkurap di
sebelahku dan menatapku sejenak, lalu ia mendekatkan mukanya ke mukaku
dan mencium bibirku. Aku membalas dengan perlahan. Vera terus menciumiku
sambil melepas blazernya. Kaki kirinya membelit kakiku. Tangannya
merayap di atas kemejaku dan mulai melepas kancing serta menariknya
sehingga dadaku terbuka. Vera semakin terangsang melihat dadaku yang
berbulu. Ia membelai-belai dadaku dan sekali-sekali menarik perlahan
bulu dadaku.
“Simbarmu iku lho To, bikin aku.. Serr” bisiknya. Simbar adalah sebutan bulu dada dalam bahasa Jawa.
“Mandi dulu yuk” kataku.
“Nggak usah, nanti aja. Bau tubuhmu lebih merangsang daripada bau sabun bahkan parfum” katanya.
Bibirnya bergeser ke bawah dan kini ia menciumi leherku. Aku
menggelinjang kegelian sekaligus nikmat. Napas kami mulai berat dan
memburu. Sambil terus menciumi dadaku, Vera melepaskan blousenya.
Kulihat buah dadanya yang masih kenyal dan padat terbungkus bra warna
merah jambu. Seksi sekali. Tangannya bergerak ke bawah, membuka kepala
ikat pinggangku, melepas kancing celana dan menarik ritsluitingku dan
langsung menariknya ke bawah. Aku sedikit mengangkat pantatku membantu
gerakan tangannya membuka celanaku. Kini tangannya bergerak ke
belakangnya, tidak lama kemudian roknya sudah merosot dan hanya dengan
gerakan kakinya rok tersebut sudah terlepas dan terlempar ke lantai.
Tangan kananku bergerak ke punggungnya dan terdengar suara “tikk”
kancing pengait branya sudah terlepas. Aku melepas branya dengan sangat
perlahan sambil mengusap-usap bahu dan lengannya. Vera mengangkat
tangannya dari tubuhku dan akhirnya terlepaslah bra merah jambu yang
dipakainya. Buah dadanya berukuran sedang, taksiranku 34 saja, terlihat
kenyal dan padat. Urat-uratnya yang membiru di bawah kulit terlihat
sangat menarik seperti alur sungai di pegunungan. Putingnya yang merah
kecoklatan menantangku untuk segera mengulumnya. Payudara sebelah kanan
kuisap dan kukulum, sementara sebelah kirinya kuremas dengan tangan
kananku, demikian berganti-ganti. Tangan kiriku mengusap-usap
punggungnya dengan lembut.
Vera mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit kecil dan kujilat-jilat.
“Ououououhh.. Nghgghh, Anto teruskan.. Ouuhh.. Anto”
Payudaranya kukulum habis sampai ke pangkalnya. Vera menghentakkan
kepalanya dan menjilati telingaku. Akupun sudah merangsang hebat.
Senjataku sudah mengeras dan kepalanya sudah nongol di balik celana
dalamku. Vera melepaskan diri dari pelukanku dan kini ia yang aktif
menjilati dan menciumi tubuhku bagian atas. Dari leher bibirnya
menyusuri dadaku, menjilati bulu dadaku dan..
“Oukhh, Vera.. Yachh.” aku mengerang ketika mulutnya menjilati puting
kiriku. Kini bibirnya pindah ke puting kananku. Aku mendorong tubuhnya,
tak tahan dengan rangsangan pada puting kananku.
Vera semakin ke bawah, ke perut dan terus ke bawah. Digigitnya meriamku
yang masih terbungkus celana dalam. Tangannya juga bergerak ke bawah,
menarik celanaku sampai ke lutut dan akhirnya menariknya ke bawah dengan
kakinya. Aku tinggal memakai kemeja saja yang kancingnya juga terbuka
semua.
No comments:
Post a Comment