Aku punya teman SMU dulu. Hubungan kami sangat baik, karena kami  sama-sama aktif di OSIS. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke  Australia, sedangkan aku, karena keadaan ekonomi yang pas-pasan, puas  menamatkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa  Tengah. Setelah lulus, aku bekerja di Jakarta. Entah suatu kebetulan  atau bukan, saat bekerja di salah satu perusahaan swasta, aku bertemu  kembali dengan Anna, yang bekerja di perusahaan rekanan perusahaan kami.  Kami bertemu waktu ada penandatanganan kerjasama antara perusahaannya  dengan perusahaan tempatku bekerja. Kami pun kembali akrab setelah tidak  bertemu sepuluh tahun. Ia masih tetap cantik seperti dulu. Dari  ceritanya, aku dapatkan informasi bahwa ia memperoleh master di bidang  marketing. Selain itu, sama sepertiku, ia telah tiga tahun menikah,  suaminya orang Jawa Timur, tetapi mereka belum dikaruniai anak;  sedangkan aku ketika itu masih lajang. Usai kerja, kami suka pulang  bareng, sebab rumahnya searah denganku. Kadang-kadang jika ia dijemput  suaminya, aku ikut numpang mobil mereka.
Aku tak pernah terpikir kalau temanku Anna memiliki suatu rahasia yang  suaminya sendiri pun tak pernah tahu. Suatu ketik – kuingat waktu itu  hari kamis – aku ikut pulang di mobil mereka, kudengar Anna berkata pada  suaminya,
“Pa, lusa aku ulang tahun yang ke-28, kan? Aku akan minta hadiah istimewa darimu. Boleh kan?”
Sambil menyetir, suaminya menjawab, “Ok, hadiah apa rupanya yang kau minta, sayang?”
“Hmmm, akan kusebutkan nanti malam waktu kita ….” sambil tersenyum dan mengerlingkan mata penuh arti.
Suaminya bergumam, “Beginilah istriku. Kalau ada maunya, harus dituruti.  Kalau tidak kesampaian, bisa pecah perang Irak.” Kemudian tak berapa  lama, ia melanjutkan, “Gimana Gus, waktu SMU dulu, apa gitu juga  gayanya?”
Kujawab, “Yah, begitulah dia. Waktu jadi aku ketua dan dia sekretaris  OSIS, dia terus yang berkuasa, walaupun program kerja aku yang nyusun.”
“Idiiiih, jahat lu Gus, buka kartu!” teriak Anna sambil mencubit lenganku pelan.
Suaminya dan aku tertawa. Sambil kuraba bekas cubitannya yang agak  pedas, tetapi memiliki nuansa romantis, kubayangkan betapa bahagianya  suaminya beristrikan Anna yang cantik, pintar dan pandai bergaul.
Aku kemudian turun di jalan depan kompleks perumahan mereka dan  melanjutkan naik angkot ke arah rumahku yang letaknya tinggal 3 km lagi.
Aku sudah lupa akan percakapan di mobil mereka itu, ketika malam minggu,  aku cuma duduk-duduk di rumah sambil menonton acara televisi yang tidak  menarik, tiba-tiba kudengar dering telepon.
“Gus, kau ada acara? Anna dan aku sedang merayakan ulang tahunnya.  Datanglah ke rumah kami. Dia sudah marah-marah, sebab baru tadi aku  bilang mau undang kau makan bersama kami. Ok, jangan lama-lama ya?”  suara Dicky, suami Anna terdengar.
“Wah, kebetulan Mas, aku sedang bete nich di rumah. Aku datang sekitar 20 menit lagi ya?” jawabku.
“Baiklah, kami tunggu,” katanya sambil meletakkan gagang telepon.
Aku bersiap-siap mengenakan baju hem yang agak pantas, kupikir tak enak  juga hanya pakai kaos. Sepeda motor kukeluarkan dan segera menuju rumah  Dicky dan Anna.
Setibanya di sana, kuketuk pintu. Anna membuka pintu. Kulihat gaunnya  begitu indah membalut tubuhnya. Potongan gaunnya di bagian dada agak  rendah, sehingga menampakkan belahan payudaranya yang sejak SMU dulu  kukagumi, sebab pernah kulihat keindahannya tanpa sengaja waktu ia  berganti baju saat olah raga dulu. Kusalami dia sambil berkata, “Selamat  ulang tahun, ya An! Panjang umur, murah rejeki, cepat dapat momongan,  rukun terus dalam rumah tangga”
Tanpa kuduga, tanganku disambut dengan hangatnya sambil diberikannya  pipinya mencium pipiku. Yang lebih tak terduga, pinggiran bibirnya –  entah disengaja atau tidak – menyentuh tepi bibirku juga. “Trims ya  Gus,” katanya. Aku masuk dan mendapati Dicky sedang duduk di ruang tamu  sambil menonton televisi.
Dicky dan Anna mengajakku makan malam bersama. Cukup mewah makan malam  tersebut, sebab kulihat makanan restoran yang dipesan mereka. Ditambah  makanan penutup berupa puding dan beragam buah-buahan membuatku amat  kenyang. Usai makan buah-buahan, Dicky ke ruang bar mini dekat kamar  tidur mereka dan mengambil sebotol champagne. “Wah, apa lagi nich?”  tanyaku dalam hati.
“Ayo Gus, kita bersulang demi Anna yang kita cintai,” kata suaminya,  sambil memberikan gelas kepadaku dan menuangkan minuman keras tersebut.  Kami bertiga minum sambil bercerita dan tertawa. Usai makan, kami berdua  kembali ke ruang tamu, sedangkan Anna membereskan meja makan.
Dicky dan aku asyik menonton acara televisi, ketika kulihat dengan ekor  mataku, Anna mendatangi kami berdua. “Mas, ganti acaranya dong, aku mau  nonton film aja! Bosen acara TV gitu-gitu terus,” rajuknya kepada  suaminya.
Dicky menuju bufet tempat kepingan audio video dan sambil berkata  padaku, ia mengganti acara televisi dengan film, “Nah, gitulah istriku  tersayang, Gus. Kalau lagi ada maunya, jangan sampai tidak dituruti.”
Kami tertawa sambil duduk bertiga. Aku agak kaget waktu menyaksikan,  ternyata film yang diputar Dicky adalah film dewasa alias blue film.  “Pernah nonton film begini, Gus? Jangan bohong, pria seperti kita jaman  SMP saja sudah baca Playboy dulu, bukan?”
“He .. he .. he .. nonton sich jangan ditanya lagi, Mas. Udah sering.  Prakteknya yang belum,” tukasku sambil meringis. Agak risih juga nonton  bertiga Anna dan suaminya, sebab biasanya aku nonton sendirian atau  bersama-sama teman pria.
“Anna kemarin minta kita nonton BF bertiga. Katanya demi persahabatan,” ujar suaminya.
“Ya Gus, bosen sich, cuma nonton berdua. Sekali-sekali variasi, boleh  kan?” kata Anna menyambung ucapan suaminya dan duduk semakin rapat ke  suaminya.
Kami bertiga nonton adegan film. Mula-mula seorang perempuan Asia main  dengan pria bule. Lalu pria Asia dengan seorang perempuan Amerika Latin  dan seorang perempuan bule. Wah, luar biasa, batinku sambil melirik Anna  yang mulai duduk gelisah. Kulihat suami Anna sesekali mencium bibir  Anna dan tangannya yang semula memeluk bahu Anna, mulai turun  meraba-raba tepi payudara Anna dari luar bajunya. Cerita ketiga semakin  panas, sebab pemainnya adalah seorang perempuan Asia yang cantik dan  bertubuh indah dan dua orang pria, yang satu Amerika Latin dan yang  satunya lagi bule. Si perempuan diciumi bibir lalu payudaranya oleh si  pria bule, sedang si pria Amerika Latin membuka perlahan-lahan rok dan  celana dalam si perempuan sambil menciumi lutut dan pahanya. Kedua pria  tersebut menelentangkan si perempuan di sofa, yang satu menciumi dan  meremas payudaranya, sedang yang lain menciumi celah-celah paha. Adegan  itu dilakukan secara bergantian dan akhirnya si pria bule menempatkan  penisnya ke klitoris si perempuan hingga si perempuan merintih-rintih.  Rintihannya makin menjadi-jadi sewaktu penis tersebut mulai memasuki  vaginanya; di bagian atas, payudaranya diremas dan diciumi serta disedot  si pria Amerika Latin. Si perempuan kemudian memegang pinggang si pria  Amerika Latin dan mencari penisnya untuk diciumi dan dimasukkan ke dalam  mulutnya. Si pria memberikan penisnya sambil terus meremas payudara si  perempuan. Begitulah, penis yang satu masuk keluar vaginanya, sedang  penis yang lain masuk keluar mulutnya.
Aku merasakan penisku menegang di balik celana dan sesekali kuperbaiki  dudukku sebab agak malu juga pada Anna yang melirik ke arah risleting  celanaku. Aku merasa horny, tetapi apa daya, aku hanya penonton,  sedangkan Anna dan Dicky, entah apa yang akan mereka lakukan  selanjutnya. Kukerling Dicky dan Anna yang sudah terpengaruh oleh film  tersebut. Gaun Anna semakin turun dan payudaranya sudah semakin tampak.  Benar-benar indah payudaranya, apalagi saat kulihat yang sebelah kiri  dengan putingnya yang hitam kecoklatan, sudah menyembul keluar akibat  jamahan tangan suaminya. Desahan Anna bercampur dengan suara si  perempuan Asia di film yang kami saksikan. Mereka berdua tampak tidak  peduli lagi dengan kehadiranku. Aku lama-lama segan juga, tetapi mau  pamit kayaknya tidak etis. Kuluman bibir Dicky semakin turun ke leher  Anna dan berlabuh di dada sebelah kiri. Bibirnya melumat puting sebelah  kiri sambil tangan kanannya meremas-remas payudara kanan Anna. Gaun Anna  hampir terbuka lebar di bagian dada.
Tiba-tiba Anna bangkit berdiri dan menuju dapur. Ia kemudian keluar dan  membawa nampan berisi tiga gelas red wine. Ia sodorkan kepada kami  berdua dan kembali ke dapur mengembalikan nampan.
Aku dan suaminya minum red wine ketika kurasakan dari arah belakangku  Anna menunduk dan mencium bibirku tiba-tiba, “Mmmmfff, ahhh, An,  jangan!” kataku sambil menolakkan wajahnya dengan memegang kedua  pipinya.
Anna justru semakin merapatkan wajah dan tubuhnya dari arah atas  tubuhku. Lidahnya masuk dengan lincahnya ke dalam mulutku sedangkan  bibirnya menutup rapat bibirku, payudaranya kurasakan menekan belakang  kepalaku. Aku masih mencoba melawan dan merasa malu diperlakukan  demikian di depan suaminya. Rasa segan bercampur nafsu yang menggelora  membuat wajahku semakin memanas, terlebih atas permainan bibir dan lidah  Anna serta payudara yang ditekankan semakin kuat.
Kudengar suara suaminya, “Tak usah malu, Gus. Nikmati saja. Ini bagian  dari permintaan spesial Anna kemarin. Kali ini ia tidak minta kado yang  lain, tapi kehadiranmu.”
Aku berhasil melepaskan diri dari serangan Anna dan sambil  terengah-engah kukatakan, “An, tolong … jangan perlakukan aku seperti  tadi. Aku malu. Dicky, aku minta maaf, aku mau pulang saja.” Aku  bergegas menuju pintu. Tapi tiba-tiba Anna menyusulku sambil memeluk  pinggangku dari belakang. Sambil menangis ia berkata, “Gus, maafkan aku.  Aku tidak mau kau pulang sekarang. Ayolah, kembali bersama kami.” Ia  menarik tanganku duduk kembali.
Aku terduduk sambil menatap lantai, tak berani melihat wajah mereka  berdua. Di seberangku, Dicky dan Anna duduk berjejer. Dicky berkata,
“Gus, tolonglah kami. Ini permintaan khusus Anna. Sebagai sahabat  lamanya, kuharap kau tidak keberatan. Sekali lagi aku minta maaf. Kami  sudah konsultasi dan berobat ke dokter agar Anna hamil. Ternyata bibitku  tidak mampu membuahinya. Padahal kami saling mencintai, aku amat  mencintainya, dia juga begitu terhadapku. Kami tidak mau cerai hanya  oleh karena aku tidak bisa menghamilinya. Kami tidak mau mengangkat  anak. Setelah kami bicara hati ke hati, kami sepakat meminta bantuanmu  agar ia dapat hamil. Kami mau agar anak yang ada di dalam rumah tangga  kami berasal dari rahimnya, walaupun bukan dari bibitku. Aku senang jika  kau mau menolong kami.”
Aku tidak menjawab. Kucoba menatap mereka bergantian.
Kemudian Anna menambahkan kalimat suaminya, “Aku tahu ini berat buatmu.  Jika aku bisa hamil olehmu, anak itu akan menjadi anak kami. Kami minta  kerelaanmu,Gus. Demi persahabatan kita. Please!” katanya memohon dengan  wajah mengiba dan kulihat airmatanya menetes di pipinya.
“Tapi, bagaimana dengan perasaan suamimu, An? Kau tidak apa-apa Dick?” tanyaku sambil menatap wajah mereka bergantian.
Keduanya menggelengkan kepala dan hampir serempak menjawab, “Tidak apa-apa.”
“Aku pernah cerita pada suamiku, bahwa dulu kau pernah punya hati  padaku, tapi kutolak karena tidak mau diganggu urusan cinta,” papar Anna  lagi.
“Ya Gus, Anna sudah ceritakan persahabatan kalian dulu. Aku dengar  darinya, kau bukan orang yang suka jajan dan sejak dulu kau tidak nakal  terhadap perempuan. Kami yakin kau bersih, tidak punya penyakit kelamin.  Makanya kami sepakat menentukan dirimu sebagai ayah dari anak kami,”  tambah suaminya. “Bagaimana Gus, kau setuju? Kau rela? Tolonglah kami  ya!” pintanya mengiba.
Aku tidak menjawab. Hatiku tergetar. Tak menduga ada permintaan gila  semacam ini dari sepasang suami istri yang salah satunya adalah  sahabatku dulu. Namun di hati kecilku timbul keinginan untuk menolong  mereka, meskipun di sisi lain hatiku, merasakan getar-getar cinta lama  yang pernah timbul terhadap Anna.
“Gus, kau mau kan?” tanya Anna sambil berjalan ke arahku.
“Baiklah, asal kalian tidak menyesal dan jangan salahkan jika aku jadi  benar-benar suka pada Anna nanti,” jawabku tanpa berani menatap muka  mereka.
“Tak apa, Gus. Aku tak keberatan berbagi Anna denganmu. Aku tahu kau  dulu tulus mencintai dia, pasti kau takkan menyakiti dia. Sama seperti  aku, tak berniat menyakiti dirinya,” kata Dicky lagi.
Anna lalu duduk di lengan kursi yang kududuki sambil memegang daguku dan  menengadahkan wajahku hingga wajah kami bersentuhan dan dengan lembut  ia mencium kedua kelopak mataku, turun ke hidung, pipi dan akhirnya  bibirku ia kecup lembut. Berbeda dengan ciumannya tadi, aku merasakan  kenyamanan yang luar biasa, sehingga kubalas lembut ciumannya. Aku  hanyut dalam ciuman yang memabukkan. Sekelebat kulihat Dicky mengamati  kami sambil mengelus-elus risleting celananya.
Anna mengajakku duduk ke sofa panjang, tempat Dicky berada. Kini ia  diapit olehku dan suaminya di sebelah kanannya. Kami berdua terus  berciuman. Adegan di video kulirik sekilas, suasana semakin panas sebab  si perempuan Asia sudah disetubuhi oleh dua pria sekaligus, yang satu  berada di bawah tubuhnya dengan penis menancap dalam vaginanya,  sedangkan penis yang satu lagi memasuki analnya. Kedua penis tersebut  masuk keluar secara berirama menambah keras rintihan dan jeritan nikmat  si perempuan. Kami bertiga terpengaruh oleh tayangan demikian, sambil  melihat film tersebut, aku terus menciumi wajah, bibir dan leher Anna,  sementara suaminya sudah membuka gaun Anna, turun hingga sebatas  pinggulnya hingga terpampanglah kini kedua payudaranya yang sintal.
Desahan Anna semakin liar ketika lidahku menggelitiki lehernya yang  jenjang dan suaminya berganti memagut bibirnya. Bibir dan lidahku  semakin turun menuju celah-celah payudaranya. Tangan kiriku meremas  payudara kanannya sambil bibirku melumat puting payudara kirinya. Ia  mengerang semakin kuat, ketika tangan kiriku turun ke pinggulnya dan  mengelus-elus pinggul dan pinggangnya. Ciumanku semakin turun ke  perutnya dan berhenti di pusarnya. Lama menciumi dan menggelitiki  pusarnya, membuatnya makin menggeliat tak menentu. Suaminya kulihat  berdiri dan membuka seluruh pakaiannya. Dicky kini dalam keadaan bugil  dan memberikan penisnya untuk digelomoh Anna. Dengan bernafsu, Anna  mencium kepala penis suaminya, batangnya dan akhirnya memasuk-keluarkan  penis itu ke dalam mulutnya. Tangan kanannya memegang batang penis  suaminya sambil bibir dan lidahnya terus melakukan aksinya. Kulihat  penis suaminya agak panjang, lebih panjang dari punyaku, maklum suaminya  lebih tinggi daripada aku, cocoklah Anna mendapat suami tinggi sebab  tingginya 167 Cm, sama denganku.
Sambil terus memesrai penis suaminya, Anna mengangkat sedikit pantat dan  pinggulnya seakan-akan memberikan kesempatan buatku melepaskan gaunnya  sama sekali. Secara alamiah, kedua tanganku bergerak menurunkan gaunnya  hingga ke lantai, sehingga tubuh Anna hanya tinggal ditutupi selembar  kain segitiga di bagian bawahnya. Tangan kiri Anna bergerak cepat  melepaskan celana dalamnya. Kini ia benar-benar telanjang, sama seperti  suaminya. Anna duduk kembali sambil menelan penis suaminya, hingga  pangkalnya. Ia sudah benar-benar dalam keadaan puncak birahi.
Aku mengambil posisi berlutut di celah-celah paha Anna. Kuamati  sela-sela paha Anna. Vaginanya dihiasi rambut yang tipis, tapi teratur.  Agaknya ia rajin merawat vaginanya, sebab rambut itu dicukur pada bagian  labia, sehingga memperlihatkan belahan yang indah dengan klitoris yang  tak kalah menariknya. Kuarahkan jari-jariku memegang klitorisnya.  “Auuwww, aaahhh, enak Gus … terusin dong ….” Desisnya sambil  menggeliatkan pinggulnya dengan indah.
Aku tidak menjawab, tetapi malah mendekatkan wajahku ke pahanya dan  lidahku kujulurkan ke klitorisnya. “Ooooohhhh, nikmatnyaaaaa …..”  desahnya sambil mempercepat gerakan mulutnya terhadap penis Dicky.
Kuciumi klitorisnya sambil sesekali melakuan gerakan menyedot.  Klitorisnya sudah tegang sebesar biji kacang hijau. Indah sekali  bentuknya, apalagi ketika kukuakkan labianya bagian atas klitorisnya.  Kedua labianya kupegang dengan kedua tanganku dan kubuka lebar-lebar  lalu dengan lembut kujulurkan lidahku menusuk ke dalam vaginanya.  “Aaaaaahhhhhh …. Gusssss …. kau pintar banget!” rintihannya semakin  meninggi. Aku melakukan gerakan mencium, menjilat, menusuk, menyedot  secara bergantian, bahkan tak urung kuisap klitoris dan kedua labianya  secara bergantian, hingga erangan dan rintihannya semakin keras. Cairan  vaginanya mengalir semakin banyak. Kusedot dan kumasukkan ke dalam  mulutku. Gurih rasanya. Kedua tangannya kini memegang belakang kepalaku  dan menekankannya kuat-kuat ke pahanya sambil menggeliat-geliat seksi.  Semakin lama gerakannya semakin kuat dan dengan suatu hentakan dahsyat,  ia menekan dalam-dalam vaginanya ke wajahku. Agaknya ia sudah orgasme.  Kurasakan aliran air menyembur dari dalam vaginanya. Rupa-rupanya cairan  vaginanya bercampur dengan air seninya. Anehnya, aku tidak merasa  jijik, bahkan kuisap seluruhnya dengan buas. Ia menolakkan kepalaku,  mungkin merasa jengah karena kuisap seluruh cairannya, tanpa mau  menyisakan sedikit pun. Aku tidak mengikuti perlakuannya, tapi terus  menekan wajahku menjilati seluruh cairannya yang menetes dan mengalir ke  pahanya.
Aku masih bersimpuh di celah-celah paha Anna, ketika ia mendekatkan  wajahnya mencium bibirku. “Makasih ya Gus, kamu pintar banget bikin aku  puas!”
Kulihat Dicky terpengaruh atas orgasme istrinya, ia berdiri dan berkata, “Ayo sayang, aku belum dapet nih!”
“Aaahh, aku masih capek, tapi ya dech. Aku di bawah ya,” sambutnya  sambil menelentangkan tubuh di sofa panjang tersebut. Suaminya mengambil  posisi di sela-sela paha Anna dan menggesek-gesekkan penisnya ke  klitoris Anna. Anna kembali naik birahi atas perlakuan Dicky. Makin lama  Dicky memasukkan penisnya semakin dalam ke dalam vagina Anna. Anna  membalas dengan membuka lebar-lebar pahanya. Kedua kakinya dipentang dan  dipegang oleh kedua tangan suaminya. Anna lalu mengisyaratkan aku  mendekatinya. Aku jalan mendekati wajahnya. Ia lalu membuka celana  panjangku hingga melorot ke lantai. Celana dalamku pun dibukainya dengan  ganas dan kedua tangannya memegang penisku. Sambil menyentuh penisku,  perlahan-lahan ia dekatkan wajahnya ke arah pahaku dan menjilat kepala  penisku. “Ahhh, ssshhh, Ann …. Nikmatnyaaaa,” desahku sambil membuka  bajuku. Kini kami bertiga benar-benar seperti bayi, telanjang bulat.  Anehnya, aku tidak merasa malu seperti mula-mula. Adegan yang hanya  kulihat dulu di blue film, kini benar-benar kualami dan kupraktekkan  sendiri. Gila! Tapi akal sehatku sudah dikalahkan. Entah oleh rasa suka  pada Anna atau karena hasrat liarku yang terpendam selama ini.
Anna semakin liar bergerak menikmati tusukan penis suaminya sambil  melumat penisku. Kedua tanganku tidak mau tinggal diam dan meremas-remas  kedua payudara Anna dengan putingnya yang semakin mencuat bagaikan  stupa candi.
Hunjaman penis suaminya kulihat semakin hebat sebab Anna semakin kuat  menciumi dan menjilati bahkan menelan penisku hingga masuk seluruhnya ke  dalam mulutnya. Kurasakan kepala penisku menekan ujung tenggorokannya,  tapi Anna tidak peduli, air ludahnya menetes di sela-sela bibirnya yang  tak kenal lelah menelan penisku. Bahkan ketika seluruh penisku ia telan,  lidahnya mengait-ngait lubang kencingku, rasanya agak panas, tapi geli  bercampur nikmat. Aku ikut merintih tanpa kusadari. Kini desahan dan  erangan kami bertiga sudah melampaui adegan di film yang sudah tak kami  hiraukan lagi. Sekilas sempat kulihat adegan di video memperlihatkan  pergantian adegan dari adegan si perempuan Asia berjongkok di atas  pinggang si pria Amerika Latin memasuk-keluarkan penisnya sambil  menggelomoh penis si pria bule. Kemudian si pria bule menempatkan diri  di belakang si perempuan dan memasukkan penisnya ke dalam anal si  perempuan sambil kedua tangannya meremas payudara si perempuan. Dari  bahwa, si pria Amerika Latin menciumi bibir si perempuan. Rintihan si  perempuan bertambah kuat sewaktu kedua pria tersebut mengeroyok vagina  dan analnya dengan hebat. Erangannya berganti dengan jeritan nikmat  ketika kedua pria itu semakin kuat menghentakkan penis mereka  dalam-dalam. Terpengaruh oleh adegan tersebut, Dicky menancapkan  penisnya sedalam-dalamnya ke vagina istrinya. Tangan kiri Anna  mengelus-elus klitorisnya sendiri dengan kencang, sedang penis suaminya  masuk keluar semakin cepat. Penisku disedot kuat-kuat oleh Anna dan  gigitan gemasnya kurasakan pada batang penisku. Remasanku makin kuat di  payudara Anna sambil sesekali kuciumi bibirnya.
“Ahhh, aku hampir sampai, An … Aaahhh vaginamu enak benar!” rintih Dicky.
“Sabar sayang, aku juga hampir dapat. Sama-sama ya? Oooohhhh, akkhhh …  enak benar tusukan ******mu. Ayo sayang, yang dalam ….. aaauhhggghhhhh  …. Ooouukhhhhh,” rintih Anna semakin tinggi hingga tiba-tiba ia  menjerit.
Jeritan Anna membahana memenuhi ruangan bagaikan raungan serigala,  ketika dengan hebatnya penis suaminya menghunjam dengan cepat dan  berhenti saat orgasmenya pun menjelang. Kedua pahanya menjepit pinggul  suaminya sedang mulutnya menelan penisku hingga ujungnya kurasakan  menekan tekak tenggorokannya. Kuperhatikan tubuh Anna yang indah  bergetar-getar beberapa saat, apalagi di bagian pahanya.
Suaminya menghempaskan tubuh di atas tubuh Anna, sementara kedua tangan  Anna memeluk tubuh suaminya. Aku melepaskan diri dari Anna dan mengambil  tempat duduk sambil mengamati mereka berpelukan sambil bertindihan.
Kulihat adegan film hampir habis. Berarti kami bertiga main satu  setengah jam, sebab tayangan film tadi kulihat berdurasi dua jam,  sedangkan waktu kami bercakap-cakap bertiga tadi, permainan film baru  berlangsung setengah jam. “Luar biasa daya tahan Anna,” pikirku.
Kudengar Anna berkata dari balik himpitan tubuh suaminya, “Ntar  giliranmu ya Gus. Kasihan kamu belum apa-apa, padahal aku dan suamiku  sudah dapat!”
“Nggak apa-apa An. Santai aja. Aku kan cuma pelengkap penderita,” candaku.
“Jangan gitu dong say,” Anna menolakkan tubuh suaminya dan berdiri lalu  mendekatiku. “Kamu kan orang penting, makanya kamu yang kami minta  menemani saat istimewaku malam ini.” Ia cium bibirku lembut sambil  melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
“Mas, kita main di kamar aja yuk, biar lebih enak,” pinta Anna pada suaminya.
Suaminya hanya mengangguk dan mematikan video lalu bergerak mengikuti  istrinya ke arah kamar mereka. Aku masih duduk. Anna berhenti melangkah  dan mengajakku, “Ayo dong Gus, kita di kamar aja, di sini kurang  leluasa.” Aku berdiri dan mengikuti mereka.
Kamar tidur mereka cukup luas, kira-kira 5 X 6 meter. Ranjang yang  terletak di tepi salah satu sisi ruangan berukuran besar. Hawa sejuk AC  menerpa ketika kami bertiga bagaikan anak-anak kecil, bertelanjang  badan, beriringan masuk kamar.
Anna langsung merebahkan tubuhnya di tengah ranjang. Suaminya mengikuti  sambil melabuhkan ciuman. Aku masih berdiri memandangi mereka, ketika  tangan Anna mengisyaratkanku agar mendekati mereka. Aku mengikuti  ajakannya dan duduk di sisi lain tubuhnya sambil mengelus-elus lengan  dan perutnya. Tangan Anna menarik pergelangan tanganku agar mengelus dan  meremas payudaranya. Tanganku mulai beroperasi di bagian dadanya dan  memainkan putingnya yang kembali mengeras akibat sentuhan jari-jariku.  Kupilin-pilin putingnya dengan lembut dan kudekatkan mukaku ke dadanya.  Lidahku kujulurkan menjilati puting payudaranya. Lama kugelitik  putingnya, setelah itu kumasukkan putingnya ke dalam mulutku sambil  melakukan gerakan menyedot. Saking gemasnya, kusedot juga payudaranya  yang tidak begitu besar, tetapi masih kenyal karena belum pernah  menyusui bayi. “Ooogghh, ya, yahh, gitu Gus, enak tuch …. ” desisnya  sambil menyambut ciuman suaminya. Kedua payudaranya kuremas sambil terus  mengisap, memilin, menyedot putingnya dengan gerakan bervariasi,  kadang-kadang lembut, kadang ganas, hingga Anna menggeliat-geliat  dilanda birahi.
Kuteruskan penjelajahan bibirku ke arah perutnya dan turun ke  rambut-rambut halus di atas celah pahanya yang putih. Kembali lidahku  bermain di klitorisnya dan celah-celah vaginanya yang mulai basah lagi.  Ludahku bercampur dengan cairan vaginanya yang harum. Ciumanku semakin  buas turun ke celah-celah antara vagina dan analnya. Ketika mendekati  analnya, lidahku kuruncingkan dan kugunakan mengait-ngait celah-celah  analnya. “Owww, apa yang kau lakukan Gus? Koq enak banget sich?”  jeritnya sambil menaikkan pinggulnya akibat perlakuan lidahku pada  analnya. “Tenang sayang, nikmati saja,” kataku sambil menciumi analnya  dengan bibirku dan menggunakan jari telunjuk kananku untuk memasuki  analnya. “Sssshhh, aaahhhh, terusin Gus! Yahhhh enakkkkk,” desahnya.
Dicky sudah menciumi payudara Anna dalam posisi terbalik, di mana  dadanya diberikan untuk diraba dan diciumi oleh istrinya juga. Mereka  berdua mendesah, tetapi kupastikan yang paling dilanda hasrat menggelora  adalah Anna, sebab bagian bawah tubuhnya kuciumi habis-habisan, hingga  semakin becek vaginanya akibat bibir dan lidahku yang tak berhenti  melakukan aksinya.
“Sudah, sudah Gus. Ayo, sekarang giliran kamu!” tangan Anna menarik  rambutku perlahan agar menghentikan aksiku pada vagina dan analnya. Lalu  ia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar sehingga menampakkan  vaginanya yang merona merah jambu dengan sangat indahnya. Rambut-rambut  halus di atas klitoris dan vaginanya memberikan nuansa romantis yang tak  terlukiskan. Tubuh Anna benar-benar bagaikan pualam. Geliatnya begitu  erotis, membuat pria manapun takkan mampu menguasai diri untuk tidak  menyetubuhinya dalam keadaan begitu rupa. “Ayo sayang, jangan ragu-ragu  membagikan cintamu padaku,” rayu Anna sambil terus menciumi dada  suaminya yang ada di atas tubuhnya, sedang dadanya masih berada dalam  kuluman Dicky, suaminya.
Aku berlutut di antara kedua pahanya dan penisku kutaruh pelan-pelan  menyentuh klitorisnya. Ia menggelinjang-gelinjang antara geli dan  nikmat. “Ooouggghh, jangan siksa aku dong, masukkan sayangggg!”  erangnya.
Aku tidak mengikuti permintaannya, melainkan terus memainkan penisku  menggesek klitorisnya hingga kurasakan semakin tegang ditekan oleh  kepala penisku. Dengan tangan kananku, kupegang pangkal penisku dan  kusentuhkan juga ke labia vaginanya bergantian, kiri dan kanan, lalu  sesekali mengusap celah-celah vaginanya dengan kepala penis dari arah  klitorisnya ke bawah. “Ssshhh, ooohhhh, enak banget sayang …. Ayo dong,  aku nggak tahan nichhh …. Masukin ******mu Gussss ……” Anna memohon.
Tak tahan mendengar permintaannya, kujejalkan kepala penis ke  celah-celah vaginanya, tapi tidak semuanya kumasukkan. Tangan kananku  masih kupakai untuk menggerakkan penisku merangsek masuk dan menjelajahi  dinding-dinding vaginanya, kanan dan kiri. Ia menaik-turunkan  pinggulnya menyambut masuknya penisku. “Ohhhh, nikmaatttt …..” desisnya.  Suaminya memandang ke arahku sambil tersenyum. Kini ia berlutut di  sebelah kanan kepala Anna dan memberikan penisnya untuk dikulum  isterinya.
Dengan lembut kumasukkan penisku makin dalam, perlahan-lahan hingga  penisku masuk sebatas pangkalnya. “Aaaahhh …… ” erang Anna lagi. Kedua  tangan Anna menarik tubuhku menindih badannya. Ia melakukan hal itu  sambil tetap mengulum penis suaminya.
Gerakanku menaikturunkan tubuh di atas Anna berlangsung dengan ritme  pelan, tetapi kadang-kadang kuselingi dengan gerakan cepat dan dalam.  Berulang-ulang Anna merintih, “Gila Gus, enak banget ******mu!  Oooouugghhhh … yahh …. aaahhh … sedappppp!” Pinggulnya sesekali naik  menyambut masuknya penisku. Semakin lama gerakan pinggulnya makin tak  menentu
Gerakanku makin cepat dan kuat. Desahannya makin kuat mengarah pada  jeritan. Dengan beberapa kali hentakan, kubuat Anna bergetar semakin  tinggi menggapai puncak kenikmatan. “Gusss, terusin ….. Aaaahhhh, aku  dapet lagi, oooouuggghhh!” ia menggeram sambil mengangkat pinggulnya  menyambut tekanan penisku yang kuhunjamkan dalam-dalam ke vaginanya.  Jari-jari tangannya memeluk punggungku dengan erat, bahkan cengkeraman  kukunya begitu kuat, terasa sakit menghunjam kulitku, tetapi perasaan  itu bercampur dengan kenikmatan luar biasa. Kurasakan guyuran cairan  kenikmatannya membasahi penisku sedemikian rupa dan dinding vaginanya  berkejat-kejat memijat batang penisku, hingga tak kuasa kubendung luapan  spermaku memasuki rongga vaginanya. “Anna!!!! Ogggghhh, enak banget,  sayang!” desahku sambil memeluk erat-erat tubuhnya dan menciumi bibirnya  rapat-rapat. Anna menyambut ciumanku. Kurasakan bibir kami berdua agak  dingin, sebab aliran darah kami seakan-akan terdesak ke bagian bawah.  Kedua belah pahanya menjepit kedua pahaku dengan kuatnya dan jepitan  vaginanya seolah-olah ingin mematahkan batang penisku. Dinding vaginanya  masih berdenyut-denyut memilin penisku. Tak terkatakan nikmatnya.
Suaminya tahu diri dan menarik tubuh menyaksikan permainan kami berdua.  Lama kami berpelukan dalam posisi berdekapan. Ia tidak mau melepaskan  tubuhku. Denyutan vaginanya masih terus terasa memijat-mijat batang  penisku, hingga perasaanku begitu nyaman dan damai dalam pelukannya.  Beberapa kali ingin kutarik tubuhku, tapi ia tidak mengijinkan tubuhku  meninggalkan tubuhnya. Ia hanya membolehkan tubuhku miring ke kanan,  hingga ia pun miring ke kiri. Dengan masih berpelukan dalam keadaan  miring, mulutnya masih terus menciumi mulutku. Bibir kami berpagutan dan  lidahnya masuk rongga mulutku menggapai langit-langit mulutku.  Kulakukan hal yang sama bergantian dengannya. Beberapa saat kemudian  kurasakan cairan kenikmatan kami mengalir di sela-sela pahaku, juga  kuperhatikan menetesi pahanya. Penisku mengecil setelah melakukan  tugasnya dengan baik. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan berbaring  di sebelah sebelah kiri tubuhnya. Suaminya menempatkan diri berbaring di  sebelah kanannya. Anna kini diapit oleh dua pria. Aku menatap  langit-langit kamar mereka sambil merenung, betapa gilanya kami bertiga  melakukan ini. Aku tak tahu apa yang ada di benak mereka berdua. Elusan  jari-jari Anna di tubuhku membuatku tak habis pikir, betapa dahsyat  permainan perempuan ini. Ia memiliki kekuatan melawan dua pria  sekaligus. Ia mencium bibir suaminya sambil berbisik. “Mas Dicky,  makasih ya atas hadiah ulang tahunnya!” Lalu ia juga mencium bibirku,  menatap dengan mata berkaca-kaca dan berkata, “Gus, trims buat kadomu.  Kami benar-benar berterima kasih padamu.” Aku tak menjawab, merasa  bodoh, tetapi haru menyambut ciumannya disertai tetesan air yang turun  ke pipinya. Aku mengusap air matanya sambil memagut bibirnya lembut.  Lama kami melakukan hal itu dan kembali berbaring. Anna bangun dan  mengambil handuk kecil untuk melap vaginanya yang basah oleh cairan kami  berdua. Lalu ia kembali berbaring di antara suaminya dan aku.
Suaminya membelai-belai payudara Anna dan memberi tanda agar Anna  menaiki tubuhnya. Rupanya suaminya minta dilayani lagi. Anna lalu  menempatkan diri di atas tubuh suaminya. Mula-mula ia berjongkok di atas  pinggang suaminya dan memasukkan penis suaminya dengan dibantu oleh  tangan kanannya. Setelah penis tersebut masuk, perlahan-lahan ia  menaik-turunkan tubuhnya di atas tubuh suaminya. Suaminya menyambut  gerakan Anna sambil meremas-remas payudaranya.
Beberapa saat kemudian Anna merebahkan tubuhnya di atas tubuh suaminya.  Gerakan mereka makin kuat. Sesekali pantat suaminya terangkat ke atas,  sedang Anna menurunkan tubuhnya dan menekan kuat-kuat hingga penis  suaminya menancap dalam-dalam. Aku beringsut menuju bagian bawah tubuh  mereka dan memperhatikan bagaimana penis suaminya masuk keluar vagina  Anna. Kudengar suara suaminya, “Ann, analmu kan nganggur tuch. Gimana  kalau dimasuki penis Agus seperti yang pernah kulakukan?”
Kudengar suara Anna, “Ya Mas, aku baru mau usul begitu. Tahu nich,  kalian berdua begitu pandai memuaskan aku. Ayo Gus, tusuk analku dong!”  pintanya memohon.
Aku heran juga atas kelakuan suami istri ini, tetapi kupikir mungkin  karena Anna pernah di luar negeri, hal-hal begini tidak aneh lagi  buatnya. Bagiku memang pengalaman baru. Main dengan perempuan beberapa  kali pernah kulakukan, tapi main bertiga begini apalagi mengeroyok  vagina dan anal sekaligus, ini benar-benar pengalaman luar biasa bagiku.
Kuamati kemaluan kedua suami istri itu. Perlahan-lahan kuelus-elus  vagina Anna yang basah oleh cairannya. Jari-jariku kemudian mengarah ke  analnya. Dengan cairan vaginanya kubasahi lubang analnya. Telunjuk jari  kananku kumasukkan pelan-pelan ke dalam analnya. “Yaaah gitu Gus, enak  tuch…. Lebih dalam lagi!!! Ayoooo!!!!” desahnya dengan suara yang  serak-serak basah karena dilanda nafsu.
Jariku masuk makin dalam ke analnya membuat gerakan tubuhnya semakin tak  menentu. Dengan vaginanya dirojok penis suaminya dan jariku memasuki  analnya, Anna berkayuh menuju pulau kenikmatan. “Gusss, jangan cuman  jarimu dong, sayang! Sekarang masukin penismu ….. Ayooo dong!!!”  pintanya.
Kedua paha Anna berada di bagian luar paha suaminya, membuka lebar-lebar  celah vaginanya bagi masuknya penis suaminya. Kutempatkan kedua pahaku  menjepit paha Anna. Kepala penis kubalur dengan air ludahku dan  kumasukkan perlahan-lahan ke dalam anal Anna. Mula-mula agak susah,  sebab sempit, tetapi mungkin karena mereka sudah pernah melakukan hal  itu, tak terlalu masalah bagi penisku untuk melakukan eksplorasi ke  dalam analnya. “Sssshhhh, ohhhh enak banget Gusssss! Terusin yang lebih  dalam sayang!” rintihnya.
Aku bergerak makin leluasa memasuk-keluarkan penisku ke dalam analnya.  Sedang dari bawah, penis suaminya masuk keluar vaginanya. Anna berada di  antara tubuh suaminya dan aku, melayani kami berdua sekaligus mengayuh  biduk kenikmatan tak terperikan. Gerakan suaminya makin kuat, mungkin  tak lama lagi ia akan orgasme. Anna pun semakin liar menggerakkan  pinggul dan pinggangnya, apalagi dari bawah, suaminya menyusu pada  payudaranya secara bergantian. Jeritan Anna yang begitu kuat seperti  tadi kembali memenuhi ruangan kamar itu. Namun agaknya tak masalah bagi  mereka, sebab rumah mereka begitu besar dan dengan konstruksi yang  begitu bagus, suara rintihan dan jeritan kami dari dalam kamar tersebut  takkan terdengar keluar.
Kedua tangan Anna memeluk tubuh suaminya erat-erat sambil menekan  tubuhnya kuat-kuat hingga kupastikan penis suaminya telah masuk sampai  pangkalnya, sedangkan penisku kugerakkan berirama ke dalam analnya.  “Gus, lagi Gus, yang kuat!!” pinta Anna. Kedua pundak Anna kupegang kuat  sambil menghentakkan penis sedalam-dalamnya ke dalam analnya. Aneh,  kupikir ia akan kesakitan diserang demikian rupa pada analnya, ternyata  sebaliknya, ia malah merasakan kenikmatan luar biasa menyertai  kenikmatan hunjaman penis suaminya.
Kami bertiga secara cepat melakukan gerakan menekan. Suaminya dari  bawah, Anna di atasnya menekan ke bawah, aku dari atas tubuh Anna  menekan dalam-dalam penisku ke dalam anal Anna. “Massss, oooouggghhhh  Gussss…. aku dapet lagi! Ouuuggghhhhhhhhhhhh ……… sssshhhhhh …….  akkkkhhhhh,” jerit Anna. Kurasakan betapa jepitan analnya begitu kuat,  sama seperti vaginanya tadi, menjepit penisku. Denyut kenikmatan  kurasakan begitu hebat. Tak berapa lama, Anna memintaku melepaskan diri  dari suaminya. Ia lalu berlutut tepat di depanku. Semula aku tak  mengerti maksudnya.
Kuelus-elus punggung, pinggul dan payudaranya dari belakang tubuhnya.  Tangan kanannya ia mencari penisku dan mengarahkan penisku ke analnya  lagi. “Wah, masih mau lagi dia?” kataku dalam hati. Penisku kembali  memasuki analnya dalam posisi kami berdua berlutut. Lalu ia  mengisyaratkan aku merebahkan tubuh ke belakang. Aku turuti  permintaannya dan dengan penis tetap berada di dalam analnya, aku  berbaring terlentang sedang Anna kini ada di atasku dalam posisi  sama-sama terlentang. Ia mengambil inisiatif bergerak menaik turunkan  tubuhnya hingga penisku masuk keluar dengan bebasnya ke dalam analnya.  Dari atas sana kuamati suaminya bangkit mendekati kami berdua dan  kembali mengarahkan penisnya ke vagina Anna. Kini gantian aku yang  berada di bawah, Anna di tengah, dan suaminya di atas Anna.
Desahan, rintihan dan jeritan kami silih-berganti dan kadang-kadang  bersamaan keluar dari bibir kami bertiga. Tanganku kumainkan  meremas-remas payudara Anna dari bawah. Beberapa saat kemudian, di bawah  sana, suaminya berteriak, “Ayo sayang, aku mau keluar nih!!!!”
“Tunggu sayang,” kata Anna, dan tiba-tiba ia bangkit hingga penisku  terlepas dari analnya. Dengan cepat ia tolakkan tubuh suaminya, hingga  jatuh terbaring, lalu ia berlutut di antara paha suaminya dan  menggenggam penis suaminya sambil memasuk-keluarkan penis itu ke dalam  mulutnya. Cairan sperma suaminya muncrat mengenai wajah dan mulut Anna,  tetapi ia tidak jijik menjilati cairan yang keluar itu. Kuperhatikan  ulah Anna terhadap penis suaminya. Penisku masih tegang menanti giliran  berikut.
Anna menoleh ke arahku sambil berkata, “Gus, masih mau lagi, kan? Ayo,  sayang!” Ia kemudian menungging di depan tubuhku sambil terus menjilati  penis suaminya yang semakin lemas. Kutempatkan tubuh di belakang Anna  lalu kumasukkan kembali penis ke dalam analnya. “Gus, ganti-gantian dong  masukin penismu, jangan hanya analku. Bergantian memekku juga sayang!”  katanya. “Wah, hebat benar Anna, masih juga ada permintaannya yang  begini rupa?” pikirku.
Kucabut penisku dari analnya dan kumasukkan ke dalam vaginanya yang  merah merekah. Cairannya masih banyak tapi penisku tetap dijepit kuat  sewaktu memasuki vaginanya. Usai memasukkan penis ke vaginanya dalam 2-3  kali hunjaman, kucabut lagi dan ganti analnya kutusuk 2-3 kali. Begitu  seterusnya, hingga kudengar kembali ia menjerit pertanda akan orgasme  lagi. “Aaaaggghhh, nikmatnyaaahhhhh …….. Gussss!!!! Ooooogggghhhh ……..”  Jepitan vaginanya begitu luar biasa saat jeritannya terdengar, hingga  tak bisa lagi kutahan aliran spermaku kembali memasuki kepala penisku  dan keluar tanpa tedeng aling-aling. “Aaaahhh, Annn ….. nikmat sekali  sayang!” erangku sambil memeluk tubuhnya dari belakang dan meremas-remas  kedua payudaranya. Tubuhku masih menghimpit tubuhnya dari belakang,  sedangkan Anna masih terus menciumi dan menjilati penis suaminya. Tak  bosan-bosannya ia melakukan itu. Benar-benar pemain seks yang hebat!
Kami bertiga berbaring lunglai dalam keadaan telanjang di ranjang  berukuran king size itu. Sprey ranjang sudah kusut dan di sana-sini  lelehan cairan kenikmatan kami bertiga bertebaran. Aku benar-benar lelah  dan ngantuk hingga tertidur. Lewat tengah malam, kurasakan jilatan  lidah pada penisku. Dengan mata berat, kutoleh ke bawah, kulihat Anna  sudah menciumi dan menjilati penisku kembali. Di sebelahku suaminya  tertidur nyenyak. Penisku yang lemas, kembali tegang karena perlakuan  lidah dan mulut Anna. Melihat keadaan itu, Anna senang dan mengajakku  main lagi. Anna menempatkan pinggulnya di tepi ranjang, kedua kakinya  berjuntai ke bawah hingga terpampanglah belahan vaginanya yang merekah.  Entah sudah berapa kali tusukan suaminya dan aku telah dialami vagina  ini, tetapi seakan tak kenal lelah dan memiki kemampuan tempur yang  dahsyat.
Sambil menempatkan diri di depannya, penisku kuarahkan kembali memasuki  vaginanya. Anna yang berbaring kembali merintih saat penis kumainkan di  klitoris dan vaginanya. Geliat pinggulnya begitu erotis menyambut  hunjaman penisku. Gerakan kami berdua semakin cepat, hingga akhirnya  tubuhku ia tarik kuat-kuat menjatuhi tubuhnya. Penisku masuk  sedalam-dalamnya menikmati remasan dinding vaginanya. Aku belum dapat  lagi, sehingga penisku masih tetap tegang. Kami berdua masih berpelukan  dalam posisi tersebut. Anna berbisik di telingaku, “Gus, lihat nggak  tadi. Suamiku bisa main beberapa ronde, padahal biasanya satu ronde saja  ia sudah menyerah. Mungkin karena ada teman mainnya, jadi semangat  dia.”
Aku tidak menjawab. Ia melanjutkan, “Ngomong-ngomong penismu koq kuat  banget sih, main beberapa ronde, koq kuat betul? Kau suka minum obat  kuat ya? Atau kau sudah pengalaman main sama perempuan nich?” desaknya.
“Ah, aku bisa kuat gini kan karena Anna. Abis kamu dulu tolak cintaku sih,” jawabku.
“Tapi sekarang kamu bisa menikmati tubuhku juga walau aku sudah bersuami, kan?” rajuknya.
“Iya, tapi bagaimanapun Dicky masih suami kamu? Kamu bukan nyonya Agus, kan?” balasku.
“Sudahlah, yang penting hatiku dan tubuhku bisa kau miliki juga di  samping suamiku,” katanya menutup pembicaraan kami, sambil menciumi  bibirku lagi. Aku terdiam dan bangkit berdiri. “Mau ke mana, Gus?”  tanyanya melihatku berjalan keluar kamar.
“Aku mau duduk di luar dulu,” kataku sambil melangkah keluar. Aku  memungut celana dalamku dan duduk di ruang tempat kami nonton video  tadi. Beberapa saat kemudian kulihat Anna menyusulku, masih dalam  keadaan telanjang. Ia duduk di sebelahku. “Ada apa, Gus? Kamu  tersinggung atas kata-kataku tadi?” tanyanya.
“Nggak An. Aku cuma tak habis pikir, koq bisa-bisanya aku melakukan hal  ini pada kamu yang sudah bersuami dan suamimu mengijinkan,” kataku  sambil menatap wajahnya.
“Gus, hidup ini memang penuh misteri,” katanya berfilsafat. “Yang  penting, kita menjalaninya dengan tenang dan damai; bahkan kamu dapat  pahala dengan memberikan kebahagiaan buatku dan suamiku.” “Atau kamu  nyesel atas kejadian ini,” desaknya sambil membelai wajahku.
“Tidak sayang, aku tidak menyesal. Yang kupikirkan bagaimana jika aku  tak mampu melepaskan diri darimu sebab dulu pernah mencintaimu,” kataku  sambil menciumi rambutnya.
Anna merebahkan kepalanya di pangkuanku dan jari-jarinya bermain lembut  di pahaku, bisiknya “Aku hanya menjalani hidup ini Gus. Suamiku tahu  kalau aku benar-benar ingin punya anak, tapi ia tidak bisa menghamiliku.  Kami sudah lama membicarakan dirimu dan menimbang segalanya. Aku, kelak  kau menikah dengan gadis baik, yang bisa memberikanmu kebahagiaan  seutuhnya.” Jari-jarinya terus menelusuri setiap inci pahaku hingga  kurasakan penisku kembali menegang.
“An, aku mau tanya satu hal. Kuharap kau tidak tersinggung,” kataku.  “Koq kau begitu ahli main, sampai main anal segala?” tanyaku.
“Oh itu. Kamu tidak usah curiga. Jenuh menunggu anak tidak kunjung ada,  kami berdua suka mencoba-coba berbagai posisi. Tadinya sih atas anjuran  dokter, mana tahu bisa jadi. Lama-lama setelah suamiku mau periksa ke  dokter, baru ketahuan kalau bibitnya lemah, sehingga tak bisa membuahi  rahimku. Tapi kami sudah telanjur suka posisi macem-macem. Begitulah  ceritanya Gus!”
Aku tidak menanggapi kalimatnya dengan kata-kata, tetapi mengangkat  dagunya dan mencium bibirnya. Ciuman membara yang kembali terjadi di  antara kami membuat kami berdua kembali hanyut dalam gelora asmara.  Jari-jarinya bermain di dadaku sedangkan jari-jariku membelai tubuhnya.  Ia berlutut ia antara pahaku dan kembali mencium dan menjilati penisku  sehingga mencapai ketegangan puncak. “Gimana Gus, kamu mau main lagi  kan?” tanyanya sambil memandang wajahku. “Ya sayang, tapi kamu tidak  capek?” “Nggak Gus, demi kamu, aku mau lagi,” jawabnya.
Anna berbaring di sofa panjang dan ketika aku akan menindihnya dari atas  ia melarangku. “Kenapa, An?” tanyaku tak mengerti. “Ntar dulu, kita  coba posisi ini. Kau pasti suka deh!” katanya. Ia turun dari sofa ke  karpet di bawah, lalu ia tarik kedua kakinya ke arah kepalanya, kedua  tangannya menahan belakang lututnya hingga kembali vaginanya terpampang  lebar-lebar menantikan kedatangan penisku. Aku memasukkan penis ke dalam  vaginanya sambil menikmati posisi tersebut. Sambil memasuk-keluarkan  penisku ke dalam vaginanya, kuamati Anna semakin menarik bagian bawah  tubuhnya ke atas sedemikian rupa hingga pinggulnya agak terangkat. Aku  mulai paham maksudnya. Dengan posisi berlutut, aku memasukkan penisku ke  vaginanya. Hunjaman penis agak berat kurasa dengan posisi itu, tetapi  nikmatnya tak terkatakan.
Beberapa saat kami mempertahankan posisi itu, lalu ia berkata, “Gus,  pegang tanganku.” Kutarik kedua tangannya dan tubuhnya melekat erat di  tubuhku hingga payudaranya begitu terasa kenyal menghimpit dadaku. “Gus,  kamu kuat nggak jika berdiri sekarang?” bisiknya pelan di telingaku.  Aku tidak menjawab, tapi berusaha berdiri sambil menapakkan kedua  tanganku di belakang tubuh. Akhirnya kami berdua berdiri dengan posisi  saling menempel. Tiba-tiba kedua kakinya ia angkat tinggi dan memeluk  kedua pahaku. Untungnya tubuh Anna langsing, sehingga aku kuat dibebani  oleh tubuhnya dengan cara demikian. Sambil memeluk leherku erat-erat, ia  menaik-turunkan tubuhnya hingga vaginanya turun naik di atas penisku.  Kupegang erat kedua bongkah pantatnya sambil menghunjamkan penis ke  dalam vaginanya.
“Gus, jalan yuk,” bisiknya lagi. Aku menurut saja kata-katanya.  Kulangkahkan kaki selangkah demi selangkah mengitari ruangan itu sambil  menikmati naik-turunnya tubuh Anna menghunjam penisku. Baru kuingat,  inilah yang disebut dalam Kamasutra sebagai posisi monyet menggendong  anaknya. Kami melakukan hal itu agak lama dan kemudian ia berkata, “Gus,  aku udah mau dapet lagi. Turunkan aku dong!”
Kuturunkan tubuhnya dan ia mengambil posisi berlutut menghadap sofa  sambil memintaku memasuki tubuhnya dari belakang. Kuarahkan penis ke  vaginanya lalu memaju-mundurkan tubuhku sambil meremas-remas kedua  payudaranya dari belakang. Erangan Anna semakin kuat ketika hunjaman  penisku semakin cepat masuk-keluar vaginanya. Aku tidak ingat sudah  berapa lama kami melakukan itu, ketika tiba-tiba kurasakan dinding  vaginanya kembali berdenyut-denyut tanda akan orgasme lagi. “Guuuussss  …. Aaaauuuukhhhhhh nikmatnya sayanggggg!!!” jeritnya sambil  menghempaskan pantatnya kuat-kuat ke arah pahaku. Cairan vaginanya  begitu banyak kurasakan, “Ann, koq banyak banget cairanmu?” tanyaku  heran. Masih dengan napas tersengal-sengal, ia menjawab, “Gus, akh,  eeeh….. aku kadang-kadang bisa orgasme sambil keluar pipis. Kalau  benar-benar horny, itu yang kualami. Dengan Dicky kejadian begini amat  jarang, tapi denganmu koq bisa begitu mudah kurasakan? ” “Maaf ya Gus,  jadi becek gini,” katanya. “Kamu jadi nggak bisa orgasme dengan beceknya  memekku. Pake analku lagi dech,” katanya.
Kutempatkan tubuhnya di sofa dan kuangkat kedua kakinya ke atas sambil  mengarahkan penis ke analnya yang basah akibat tetesan cairannya. Kepala  penisku masuk sedikit demi sedikit. Kumasukkan hingga leher penisku.  Pada tahap itu, kukeluarkan lagi penisku. Demikian seterusnya masuk  keluar. Ia merengek, “Gus, masukkan lebih dalam dong! Jangan siksa aku,  aku jadi mau dapat lagi nih karena kepandaian kamu main!” Kutekan  penisku masuk keluar makin dalam ke analnya, sementara kedua tanganku  menahan kedua kakinya yang terpentang lebar-lebar. Jari-jari tangan  kanannya menampar-nampar labia vaginanya dan sesekali memilin-milin  klitorisnya, sedangkan tangan kirinya meremas-remas kedua payudaranya  bergantian. “Kasihan juga perempuan ini, andaikan suaminya bangun, ia  sudah bisa membantu meremas payudara dan menyentuh vaginanya,” pikirku.  Kami berdua semakin cepat melakukan gerakan, geliat pinggulnya begitu  seksi ketika hunjaman penisku semakin cepat ke dalam analnya. Dengan  suatu sentakan kuat, kumasuki liang analnya sedalam-dalamnya dan  kunikmati denyutan analnya yang begitu kuat hingga kurasakan seakan-akan  spermaku tertahan akibat jepitan hebatnya. Aku merasa tersiksa atas  keadaan itu, dan dengan cepat kucabut penisku tanpa menghiraukan  protesnya, “Ada apa, Gus? Keluarin aja di situ!” Cairan spermaku hampir  saja muncrat di luar tubuhnya, karena aku sudah mencapai puncak  kenikmatan. Kulihat vaginanya masih membuka lebar, kupentang kedua  pahanya dan kembali penis kubenamkan dalam-dalam memasuki rongga  vaginanya. Denyutan vaginanya masih terasa begitu kencang tetapi karena  begitu banyak cairannya, jepitannya tak sekencang analnya. Sambil  mengerang kuhunjamkan penisku sedalam-dalamnya. “Guuusss, gila kamuuuuu  ….. enak banget sihhhhhh?” jeritnya sambil memeluk pinggangku kuat-kuat  dan merasakan kukunya lagi-lagi menancap di bagian belakang tubuhku.
Tak terasa kami berdua main dua ronde lagi di ruang keluarga itu. Dan  tertidur dalam keadaan berpelukan dengan bertelanjang di karpet. Kami  baru terbangun ketika merasakan silau cahaya matahari memasuki  celah-celah gordyn ruangan itu. Anna terbangun, hingga membuatku juga  ikut terbangun. Kami berdua berdiri sambil berciuman lagi. Sambil  menggandeng tanganku, Anna mengajakku menuju kamar tidur mereka dan kami  menyaksikan suaminya masih tidur nyenyak. Anna mengajakku mandi berdua  di kamar mandi di kamar mereka. Kami berdua mandi di bathtub saling  menyabuni tubuh dan kembali main satu ronde di dalam air. Luar biasa.  Entah sudah berapa kali orgasme yang Anna nikmati. Ketika kami keluar  dari kamar mandi, suaminya masih tidur, sampai Anna membangunkannya  dengan ciuman lembut.
Setelah suaminya mandi, kami sarapan bertiga. Suaminya minta maaf karena  begitu nyenyak tidur. Anna menukas, “Nggak apa-apa koq Mas. Agus maklum  dan ia bisa melayani permintaanku main lagi di ruang keluarga dan di  kamar mandi.”
“Luar biasa. Kalian berdua benar-benar hebat,” puji suaminya tanpa rasa  cemburu sedikit pun. “Gus, aku sangat berterima kasih atas kedatanganmu.  Belum pernah kulihat Anna segembira ini,” lanjutnya. “Kuharap ini bukan  yang terakhir kali kita bertiga, walaupun tadinya aku merasa aneh  dengan ide gilanya Anna mengajak kamu main dengan kami. Setelah kualami  sendiri, ternyata amat nikmat. Aku sendiri merasa seakan-akan menjadi  pengantin baru kayak dulu lagi,” katanya lagi. Aku hanya tersenyum  menanggapi percakapan itu.
Itulah pengalamanku pertama kali bertiga dengan Anna dan suaminya.  Beberapa kali kami masih melakukan hal serupa. Kadang-kadang Anna  memintaku tidur di rumahnya ketika suaminya tugas selama tiga minggu di  luar negeri. Tiada hari tanpa persetubuhan yang kami lakukan berdua.  Uniknya lagi, saat suaminya menelepon dari luar negeri, Anna sengaja  mengaktifkan headphone agar suaminya dapat mendengar desahan dan  rintihan kami. Entah apa yang dilakukan suaminya di ujung sana, tapi ia  berterima kasih kepadaku yang mau membantu mereka. Hal itu kami lakukan  cukup lama.
Pernah Anna mengajak aku dan suaminya main bersama seorang teman  perempuannya waktu kuliah di Australia. Henny namanya, orang Sunda.  Orangnya tidak secantik Anna, tetapi manis. Sudah menikah tetapi juga  sama dengan Anna, belum punya anak. Akhirnya aku mengerti bahwa baik  Anna maupun Henny adalah biseks. Mereka bulan lesbian murni, tetap  menginginkan lelaki, tetapi tak bisa melupakan teman intimnya dulu.  Kisah ini akan kuceritakan di saat berikut. Suami Anna sangat berterima  kasih, ketika setahun kemudian meneleponku memberitahukan bahwa Anna  sedang hamil dua bulan. Ia memintaku datang ke rumah mereka, tetapi aku  mengelak dengan alasan sedang ada kerjaan kantor yang tak dapat  ditinggalkan. Padahal, aku tak kuasa menahan gejolak di hati, bahwa  benih yang dikandung Anna adalah anakku. Aku hanya dapat berharap mereka  bahagia dengan kehadiran anak itu. Tiga tahun kemudian aku menikah  dengan seorang gadis Jawa. Ia tidak secantik Anna, tidak juga semanis  Henny, tetapi ia mencintaiku dengan tulus dan mau menerima diriku apa  adanya. Pernah Anna meneleponku karena rindu lama tak bertemu denganku  dan bertanya apakah aku tidak ingin melihat anakku yang pernah ia  kandung. Aku katakan rindu, tetapi tak kuasa bertemu mereka. Hanya  berharap mereka bahagia dan rukun selalu. Mendengar kata-kataku, Anna  terisak di telepon dan berharap, jika suatu ketika aku mau bertemu  dengannya, Dicky tak pernah cemburu, bahkan jika aku memintanya, ia akan  melayaniku lagi.

No comments:
Post a Comment