Cerita ini terjadi kurang lebih sebelas tahun yang lalu (tepatnya 
tanggal 31 Desember 1995). Saat itu kelompok kami (4 lelaki dan 2 
perempuan) melakukan pendakian gunung. Rencananya kami akan merayakan 
pergantian tahun baru di sana. Sampai di tempat yang kami tuju hari 
telah sore, kami segera mendirikan tenda di tempat yang strategis. 
Setelah semuanya selesai, kami sepakat bahwa tiga orang lelaki harus 
mencari kayu bakar, sisanya tetap tinggal di perkemahan. Aku, Robby, dan
 Doni memilih mencari kayu bakar, sedangkan Fadli, Lia dan Wulan tetap 
tinggal di tenda. Baru beberapa langkah kami beranjak pergi, tiba-tiba 
Wulan memanggil kami, katanya dia ingin ikut kelompok kami saja 
(alasannya masuk akal, dia tidak enak hati sebab Fadli adalah pacar Lia,
 dan Wulan tidak ingin kehadirannya di tenda mengganggu acara mereka). 
Karena Fadli dan Lia tidak keberatan ditinggal berdua, kami (Robby, 
Doni, aku dan Wulan) segera melanjutkan perjalanan.
Ada beberapa hal yang perlu aku ceritakan kepada pembaca tentang dua 
orang teman wanita kami. Lia sifatnya sangat lembut, dewasa, pendiam dan
 keibuan. Sifat ini bertolak belakang dengan Wulan. Mungkin karena dia 
anak bungsu dan ketiga kakaknya semua lelaki, jadi Wulan sangat manja, 
tapi terkadang tomboy. Tapi di balik semua itu, kami semua mengakui 
bahwa Wulan sangat cantik, bahkan lebih cantik dari Lia.
Tidak berapa lama, sampailah kami pada tempat yang dituju, lalu kami 
mulai mengumpulkan ranting-ranting kering. Sambil mengumpulkan ranting, 
kami membicarakan apa yang sedang dilakukan Fadli dan Lia di dalam 
tenda. Tentu saja pembicaraan kami menjurus kepada hal-hal porno. 
Setelah cukup apa yang kami cari, Robby mengusulkan singgah mandi dulu 
ke sungai yang tidak berapa jauh dari tempat kami berada. Wulan boleh 
ikut, tapi harus menunggu di atas tebing sungai sementara kami bertiga 
mandi. Wulan setuju saja. Singkat kata, sampailah kami pada sungai yang 
dituju. Aku, Robby dan Doni turun ke sungai, lalu mandi di situ. Wulan 
kami suruh duduk di atas tebing dan jangan sekali-kali mengintip kami.
Ketika sedang asyik-asyiknya kami berkubang di air, tiba-tiba kami 
mendengar Wulan menjerit karena terjatuh dari atas tebing. Tubuhnya 
menggelinding sampai akhirnya ia tercebur ke dalam air. Cepat-cepat kami
 berlari mencoba menyelamatkan Wulan (kami mandi hanya menanggalkan baju
 dan celana panjang, sedangkan celana dalam tetap kami pakai). Robby 
yang pandai berenang segera menjemput Wulan, lalu menariknya dari air 
menuju tepi sungai. Aku dan Doni menunggu di atas. Sampai di tepi 
sungai, tubuh Wulan basah kuyup. Sepintas kulihat lengan Robby menyentuh
 buah dada Wulan. Karena Wulan memakai T-Shirt basah, aku dapat melihat 
dengan jelas lekuk-lekuk tubuh Wulan yang sangat menggairahkan.
Wulan merintih memegangi lutut kanannya. Aku dan Doni terpaku tidak tahu
 apa yang harus kami lakukan, tapi Robby yang pernah ikut kegiatan 
penyelamatan dengan sigap membuka ikat pinggang Wulan lalu mencopot 
celana jeans Wulan sampai lutut. Wulan berteriak sambil mempertahankan 
celananya agar tidak melorot. Sungguh, saat itu aku tidak tahu apa 
sebenarnya yang hendak Robby lakukan terhadap Wulan. Segalanya berjalan 
begitu cepat dan aku tidak menyimpan tuduhan negatif terhadap Robby. Aku
 hanya menduga, Robby hendak memeriksa luka Wulan. Tapi dengan 
melorotnya jeans Wulan sampai ke lutut, kami dapat melihat dengan jelas 
celana dalam wulan yang berwarna off-white (putih kecoklatan) dan 
berenda. Kontan penisku bangun.
Robby memerintahkan aku dan Doni memegangi kedua tangan Wulan. Seperti 
dihipnotis, kami menurut saja. Wulan semakin meronta sambil menghardik, 
"Rob, apa-apaan sih.., Lepas.., lepas! Atau saya teriak".
Doni secepat kilat membungkam mulut Wulan dengan kedua telapak 
tangannya. Robby setelah berhasil mencopot celana jeans Wulan, sekarang 
mencoba mencopot celana dalam Wulan. Sampai detik ini, akhirnya aku tahu
 apa sebenarnya yang sedang terjadi. Aku tidak berani melarang Robby dan
 Doni, karena selain aku sudah merasa terlibat, aku juga sangat 
terangsang saat melihat kemaluan Wulan yang lebat ditumbuhi 
rambut-rambut hitam keriting.
Wulan semakin meronta dan mencoba berteriak, tapi cengkeraman tanganku 
dan bungkaman Doni membuat usahanya sia-sia belaka. Robby segera 
berlutut di antara kedua belah paha Wulan. Tangan kirinya menekan perut 
Wulan, tangan kanannya membimbing penisnya menuju kemaluan Wulan. Wulan 
semakin meronta, membuat Robby kesulitan memasukkan penisnya ke dalam 
lubang vaginanya. Doni mengambil inisiatif. Dia lalu duduk mengangkangi 
tepat di atas dada Wulan sambil tangannya terus membungkam mulut Wulan. 
Tiba-tiba Wulan berteriak keras sekali. Rupanya Robby berhasil merobek 
selaput dara Wulan dengan penisnya. Secara cepat Robby 
menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Untuk beberapa menit lamanya 
Wulan meronta, sampai akhirnya dia diam pasrah. Yang dia lakukan hanya 
menangis terisak-isak.
Doni melepaskan telapak tangannya dari mulut Wulan karena dia merasa 
Wulan tidak akan berteriak lagi. Lalu dia mencoba menarik T-Shirt Wulan 
ke atas. Di luar dugaan, Wulan kali ini tidak mengadakan perlawanan, 
hingga Doni dan aku dapat melepaskan T-Shirt dan BH-nya. Luar biasa, 
tubuh Wulan dalam keadaan telanjang bulat sangat membangkitkan birahi. 
Tubuhnya mulus, dan buah dadanya sangat montok. Mungkin ukurannya 36B.
Doni segera menjilati puting susu Wulan, sementara aku melihat Robby 
semakin kesetanan mengoyak-ngoyak vagina Wulan yang beberapa saat yang 
lalu masih perawan. Aku sangat terangsang, lalu aku mulai memaksa 
mencium bibir Wulan. Ugh, nikmat sekali bibirnya yang dingin dan lembut 
itu. Aku melumat bibirnya dengan sangat bernafsu. Aku tidak tahu apa 
yang sedang Wulan rasakan. Aku hanya melihat, matanya polos menerawang 
jauh langit di atas sana yang menguning pertanda malam akan segera tiba.
 Tangisnya sudah agak mereda, tapi aku masih dapat mendengar isak 
tangisnya yang tidak sekeras tadi. Mungkin dia sudah sangat putus asa, 
shock, atau mungkin juga menikmati perlakuan kasar kami.
Tiba-tiba aku mendengar Robby menjerit tertahan. Tubuhnya mengejang. Dia
 menyemprotkan sperma banyak sekali ke dalam vagina Wulan. Setengah 
menit kemudian Robby beranjak pergi dari tubuh Wulan lalu tergeletak 
kelelahan di samping kami. Doni menyuruhku mengambil giliran kedua. Aku 
bangkit menuju Vagina Wulan. Sepintas aku melihat sperma Robby mengalir 
ke luar dari mulut vagina Wulan. Warnanya putih kemerahan. Rupanya 
bercak-bercak merah itu berasal dari darah selaput dara (hymen) Wulan 
yang robek. Tanpa kesulitan aku berhasil memasukkan penis ke dalam 
vaginanya. Rasanya nikmat sekali. Licin dan hangat bercampur menjadi 
satu. Dengan cepat aku mengocok-ngocok penisku maju mundur. Aku mendekap
 tubuh Wulan. Payudaranya beradu dengan dadaku. Dengan ganas aku melumat
 bibir Wulan. Doni dan Robby menyaksikan atraksiku dari jarak dua meter.
 Beberapa menit kemudian aku merasakan penisku sangat tegang dan 
berdenyut-denyut. Aku sudah mencoba menahan agar ejakulasi dapat 
diperlama, tapi sia-sia. Spermaku keluar banyak sekali di dalam vagina 
Wulan. Aku peluk erat Tubuh Wulan sampai dia tidak dapat bernafas.
Setelah puas, aku berikan giliran berikutnya kepada Doni. Aku lalu duduk
 di samping Robby memandangi Doni yang dengan sangat bernafsu menikmati 
tubuh Wulan. Karena lelah, kurebahkan tubuhku telentang sambil 
memandangi langit yang semakin menggelap.
Beberapa menit kemudian Doni ejakulasi di dalam vagina. Setelah Doni 
puas, ternyata Robby bangkit kembali nafsunya. Dia menghampiri Wulan. 
Tapi kali ini dia malah membalikkan tubuh Wulan hingga tengkurap. Aku 
tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ternyata Robby hendak melakukan 
anal seks. Wulan menjerit saat anusnya ditembus penis Robby. Mendengar 
itu Robby malah semakin kesetanan. Dia menjambak rambut Wulan ke 
belakang hingga muka Wulan menengadah ke atas. Dengan sigap Doni 
menghampiri tubuh Wulan. Aku melihat Doni dengan sangat kasar 
meremas-remas buah dada Wulan. Wulan mengiba, "Aduhh..., sudah dong 
Ro..., ampun..., sakit Rob". Tapi Robby dan Doni tidak menghiraukannya.
"Oh, sempit sekali", teriak Robby mengomentari lubang dubur Wulan yang 
lebih sempit dari vaginanya. Setiap Robby menarik penisnya aku lihat 
dubur Wulan monyong. Sebaliknya saat Robby menusukkan penisnya, dubur 
Wulan menjadi kempot. Tidak lama, Robby mengalami ejakulasi yang kedua 
kalinya. Setelah puas, sekarang giliran Doni menyodomi Wulan. Melihat 
itu aku jadi kasihan juga terhadap Wulan. Di matanya aku melihat beban 
penderitaan yang amat berat, tapi sekaligus aku juga melihat sisa-sisa 
ketegarannya menghadapi perlakuan ini.
Setelah Doni puas, Robby dan Doni menyuruhku menikmati tubuh Wulan. Tapi
 tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Aku katakan bahwa aku sudah
 sangat lelah dan hari sudah menjelang gelap. Kami sepakat kembali ke 
perkemahan. Robby dan Doni segera berpakaian lalu beranjak meninggalkan 
kami sambil menenteng kayu bakar. Wulan dengan tertatih-tatih mengambil 
celana dalam, jeans, lalu mengenakannya. Aku tanyakan apakah Wulan mau 
mandi dulu, dan dia hanya menggeleng. Dalam keremangan senja aku masih 
dapat melihat matanya yang indah berkaca-kaca. Kuambil T-Shirtnya. 
Karena basah, aku mengepak-ngepakkan agar lebih kering, lalu aku berikan
 T-Shirt itu bersama-sama dengan BH-nya. Robby dan Doni menunggu kami di
 atas tebing sungai. Setelah Wulan dan aku lengkap berpakaian, kami 
beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Robby dan Doni berjalan tujuh 
meter di depanku dan Wulan.
Di perkemahan, Fadli dan Lia menunggu kami dengan cemas. Lalu kami 
mengarang cerita agar peristiwa itu tidak menyebar. Untunglah Fadli dan 
Lia percaya, dan Wulan hanya diam saja.
Tepat tengah malam di saat orang lain merayakan pergantian tahun baru, 
kami melewatinya dengan hambar. Tidak banyak keceriaan kala itu. Kami 
lebih banyak diam, walau Fadli berusaha mencairkan keheningan malam 
dengan gitarnya.
Esoknya, pagi-pagi sekali Wulan minta segera pulang. Kami maklum lalu 
segera membongkar tenda. Untunglah sesampainya di kota kami, Wulan 
merahasiakan peristiwa ini. Tapi tiga bulan berikutnya Wulan 
menghubungiku dan dia dengan memohon meminta aku bertanggung jawab atas 
kehamilannya. Aku sempat kaget karena belum tentu anak yang dikandungnya
 itu adalah anakku. Tapi raut wajahnya yang sangat mengiba, membuatku 
kasihan lalu menyanggupi menikahinya.
Satu bulan berikutnya kami resmi menikah. Wulan minta agar aku 
memboyongnya meninggalkan kota ini dan mencari pekerjaan di kota lain. 
Sekarang "anak kami" sudah dapat berjalan. Lucu sekali. Matanya indah 
seperti mata ibunya. Kadang terpikir untuk mengetahui anak siapa 
sebenarnya "anak kami" ini. Tapi kemudian aku menguburnya dalam-dalam. 
Aku khawatir kebahagiaan rumah tangga kami akan hancur bila ternyata 
kenyataan pahitlah yang kami dapati.
Akhir Desember 1997 kami menikmati pergantian tahun baru di rumah saja. 
Peristiwa ini kembali menguak kenangan buruknya. Matanya berkaca-kaca. 
Aku memeluk dan membelai rambutnya. Beberapa menit kemudian, dalam 
dekapanku dia mengaku bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, sebenarnya 
dia sudah jatuh cinta padaku. Dia ikut mencari kayu bakar karena dia 
ingin bisa dekat denganku.
Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Pengakuannya ini membuat hatiku pedih tak terkira.
   
   

No comments:
Post a Comment