Perkenalkan namaku Steven, aku baru saja menginjak umur 30 tahun. Nama 
panggilan akrabku adalah Steve. Sekarang aku bekerja di suatu perusahaan
 multimedia design & marketing di Jakarta. Focus dari pekerjaanku 
lebih menuju ke arah website design. Statusku masih belum menikah, dan 
juga masih belum punya pacar yang serius.
Aku adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak dan adikku laki-laki 
semua. Sekarang kakak kandungku telah berkeluarga, dan tinggal di 
Denpasar. Adik kandungku baru saja menyelesaikan kuliah-nya di Jakarta, 
dan kami tinggal bersama. Sejak aku pindah ke Jakarta, orang tua kami 
membeli rumah di Jakarta agar aku dan adikku tidak gampang terpengaruh 
oleh sifat dan kebiasaan anak-anak kost yang tidak benar. Memang aku 
akui itu kekhawatiran yang berlebihan, tapi bagi kami itu adalah berkat 
karena telah diberi tempat tinggal oleh mereka.
Kakak sulungku sejak tamat SMA (sekarang SMU) langsung pindah ke 
Denpasar, Bali. Dia mengambil bidang kedokteran, dan kini sekarang dia 
berhasil membuka praktek sendiri di Denpasar dan menetap di sana. 
Setelah lama dia berpindah dari 1 tempat ke tempat lain di daerah 
terpencil untuk ujian praktek dan juga karena suruhan pemerintah.
Aku ingin menceritakan pengalaman mengesankan sewaktu aku masih kuliah 
di kota pahlawan (Surabaya) hampir 10 tahun yang lalu. Pengalaman ini 
melibatkan hubungan aku dengan kakak sepupuku yang berumur 5 tahun lebih
 tua dari aku. Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, keperjakaanku 
diambil oleh kakak sepupuku sendiri, dan tidak ada rasa penyesalan di 
dalam diriku. Atau mungkin karena aku adalah lelaki, jadi masalah 
keperjakaan tidak terlalu penting bagi kami kaum Adam.
Kakak sepupuku bernama Jesi, tapi sejak kecil aku selalu memanggilnya Ci
 Jes atau hanya Cici yang artinya kakak perempuan. Kami berasal dari 
kota yang sama yakni kota Surabaya. Jesi adalah anak dari kakak 
perempuan ibuku. Dia adalah anak bibi yang sulung dari 3 bersaudara.
Jesi pada saat 10 tahun yang lalu berwajah cantik, putih, dengan tinggi 
badan 165 cm. Dadanya montok, meskipun tidak begitu besar. Tapi 
pinggulnya bukan main indahnya.
Aneh-nya anak dari ibuku semua-nya lelaki, sedangkan anak dari bibi 
semua-nya perempuan. Rumah kami tidaklah jauh, dan sewaktu masih SMP dan
 SMA, Jesi selalu mampir ke rumahku hampir tiap 3 kali seminggu. Karena 
tempat les private matematika, dan fisika-nya hanya beberapa meter dari 
rumahku. Jadi daripada pulang ke rumah-nya dulu seusai sekolah, dia 
memilih untuk mampir di rumahku untuk makan siang lalu berangkat lagi ke
 les private-nya.
Bisa dikatakan meskipun umur kami beda 5 tahun, tapi kami sangat akrab. 
Jesi ramah, lembut, dan sangat perhatian kepada kami. Kami menganggap 
Jesi seperti kakak kandung sendiri. Tapi aku selalu merasa Jesi memberi 
sedikit perhatian lebih kepadaku. Waktu itu aku berpikir mungkin karena 
kakak sulungku hampir seumur dengan-nya, dan adik bungsuku umur-nya beda
 amat jauh darinya. Tapi setelah kejadian malam itu, aku baru mengetahui
 kenapa Jesi memberikan perhatian lebih kepadaku.
Jesi sering bercurah hati denganku, meskipun waktu itu aku masih duduk 
di bangku SD. Kadang-kadang aku tidak mengerti apa yang dia omongkan. 
Kalau dia tertawa, aku pun ikut tertawa. Meskipun aku waktu itu tidak 
tau kenapa harus tertawa. Mengingat-ingat itu lagi, aku bisa tertawa 
sendiri sekarang. Jiwa anak-anak masih lugu dan murni.
Semenjak tamat SMA, Jesi pindah ke Bandung dan kuliah di sana. Sejak 
kepindahan Jesi, terus terang aku merasa kehilangan dan kadang-kadang 
rindu dengan-nya. Hanya setahun 2 kali Jesi pulang ke Surabaya, dan itu 
hanya untuk beberapa minggu saja. Dan yang mengesalkan, tiap kali Jesi 
pulang, selalu saja saat aku harus menghadapi ujian umum. Jadi waktuku 
untuk bermain-main dengan dia sangatlah terbatas.
Aku juga pernah sempat cemburu oleh lelaki yang sekarang menjadi suami 
Jesi, sewaktu Jesi membawa-nya pulang bertemu keluarga-nya dan 
keluargaku. Rasa cemburu ini sangatlah beda. Tidak sesakit rasa cemburu 
terhadap pacar sendiri. Mungkin rasa cemburu karena takut akan 
kehilangan kakak kesayangan saja. Lelaki itu bernama Bram. Bram berasal 
dari kota Samarinda, yang kebetulan kuliah di universitas yang sama 
dengan Jesi.
Hubungan Bram dan Jesi terus berlangsung sampai akhir-nya seusai kuliah,
 mereka memutuskan untuk segera menikah. Keputusan menikah ini atas 
permintaan Bram, karena dia harus kembali ke Samarinda dan melanjutkan 
usaha orang tua-nya. Jesi menikah di usia-nya yang ke 24 tahun. Tentu 
saja setelah menikah Jesi harus ikut Bram ke Samarinda.
Semenjak kepindahan Jesi ke Samarinda, hubungan kami sempat terputus 
selama 2 tahun. Dan kabar tentang Jesi hanya bisaku dapatkan dari bibi 
(ibu Jesi) saja. Pada saat itu Jesi masih belum dikaruniai seorang anak.
 Tiap kali aku bertanya kepada bibi mengapa sampai saat itu Jesi belum 
memiliki momongan, jawaban bibi selalu saja sama, yah antara kesibukan 
Jesi membantu usaha Bram atau Jesi sendiri masih belum siap memiliki 
momongan.
Ternyata memang benar, sejak Jesi menikah dan pindah bersama Bram di 
Samarinda, usaha Bram benar-benar lancar dan berkembang pesat. Bram 
memiliki toko yang luas dan terbagi menjadi 2 bagian. Bram menangani 
usaha business dibidang handphones dan aksesorinya. Sedangkan Jesi 
menangani usaha business di bagian konveksi dan aksesorinya seperti 
jepit rambut, anting-anting, dan sebagainya. Bram dan Jesi sering 
terbang ke Jakarta untuk order handphones, dan barang-barang model 
terbaru di Indonesia untuk dijual di toko mereka.
Suatu hari setelah 2 tahun lama-nya tiada kontak dengan Jesi. Tiba-tiba 
Jesi terbang ke Surabaya karena rindu dengan orang tuanya. Bram tidak 
datang bersamanya dan Jessi hanya tinggal untuk 10 hari saja. Tapi 
kunjungan kali ini tidak tepat pada waktunya. Rencana Jesi pulang ini 
untuk memberi kejutan buat orang tuanya, malah dia lebih dikejutkan lagi
 oleh orang tuanya. Waktu itu bibi dan paman harus terbang ke Thailand 
karena liburan dan tidak mungkin dibatalkan karena tiket dan semua 
akomodasinya sudah dibayar. Jadi Jesi bertemu dengan bibi/paman hanya 
untuk 2/3 hari saja. Selanjutnya Jesi harus menjaga rumah dan kedua 
adiknya. Saat itu aku masih duduk di bangku kuliah, dan kebetulan baru 
memasuki semester baru. Tiada kesibukan yang berarti di saat kami baru 
memasuki semester baru.
Pada hari Jumat siang (kira-kira jam 2 siang), sepulang dari kuliah, aku
 langsung memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Tidak seperti biasanya.
 Biasanya setiap hari Jumat, aku dan teman-teman kuliah pasti langsung 
ngafe atau istilahnya ngeceng (kalo bahasa kami bilangnya ‘mejeng’) di 
mall. Waktu tiba di rumah, Jesi sudah ada di sana dan lagi menonton VCD 
bersama pembantu.
“Halo Ci Jes, kapan datang?”, sapaku.
“Halo Steve. Baru aja datang. Cici bosan di rumah. Tara dan Dina lagi 
keluar tuh ama cowok-cowoknya. Jadi cici bosan di rumah sendiri. Jadi 
yah pindah aja di sini.”, jawabnya ringan.
“Ci Jes dah makan belum?”, tanya saja.
“Sudah tadi. Tuh ada ikan goreng ama sambel lalapan mbak punya. Mantep tuh!”, canda Jesi sambil melirik ke pembantuku.
Aku kemudian masuk kamar dan mengganti pakaian rumah. Jesi waktu itu 
sedang nonton film Armageddon (Bruce Willis). Salah satu film favoritku.
 Kemudian aku join dengannya nonton bersama-sama sambil makan siang di 
depan TV. Tapi memang benar, ikan goreng sambel lalapan pembantuku 
memang tiada tandingannya. Sempat saja aku tambah 2/3 piring.
Di tengah-tengah menonton VCD, pembantuku menawarkan kami jus buah. 
Tentu saja tawaran yang tidak boleh dilewatkan. Di siang bolong begini, 
jus buah segar adalah penawar yang paling tepat.
Aku duduk di atas sofa sambil kakiku naik di meja, dan Jesi duduk pas di
 sebelahku. Semakin lama Jesi semakin mendekat ke aku. Aku tidak begitu 
perduli karena aku sudah terbiasa dengan itu. Bau harum rambutnya sempat
 tercium saat itu. Jesi tampak bosan, mungkin karena dia telah nonton 
film itu dulunya.
“Steve, cici bosan nih!”, katanya.
“Trus Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku.
“Ngga tau nih. Mau ke Thailand cici.”, jawabnya sambil tertawa.
“Ya sono, beli ticket! Steve anterin deh sekarang”, responku seadanya. Tiba-tiba Jesi mencubit perutku.
“Ci Jes mau ke mall ngga?”, tawaranku.
“Malas ah. Mall mall melulu. Ngga ada yang lain?”, tanya Jesi.
“Ada. Mau ke Tretes? Nginep di sono.”, tawaranku lagi.
“Boleh sih, tapi ngga hari ini. Masih panas dan macet lagi jam-jam gini.”, jawabnya.
“Trus sekarang Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku sekali lagi.
“Ke kamar Steve yuk. Ada computer game baru ngga?”, tanya dia.
“Liat aja sendiri.”, jawabku santai.
Kemudian kami cabut dari depan TV dan membiarkan pembantuku nonton film 
itu sendiri. Di kamar aku menyalakan AC dan computer. Aku membiarkan 
Jesi main-main computerku, dan aku hanya berbaring di tempat tidur 
sambil membaca komik manga. Ternyata Jesi tidak jadi main game computer,
 tapi malah browsing-browsing foto-foto yang aku scanned sendiri. Jaman 
itu digital camera masih mahal dan kualitasnya jelek, tidak seperti saat
 ini. Jesi terlihat senyum-senyum sendiri melihat foto-foto kami waktu 
masih kecil.
Tiba-tiba bak kesambar petir, Jesi membuat aku mati kutu. Aku lupa total
 kalau di computer itu banyak koleksi film-film porno yang aku dapat 
dari teman-teman kuliah.
“Hayo apa ini, Steve?!”, tanya dia sedikit menyindir.
“Weleh Ci Jes jangan buka itu dong! Barang privacy! Khusus laki-laki.”, jawabku seadanya.
“Emang cewek ngga boleh liat yah?”, tanya dia menyindir lagi.
“Kalo cewek mau liat, boleh aja, tapi liat nanti saja atau kapan-kapan, jangan sekarang.”, jawabku sambil malu tidak karuan.
“Cici mau liat sekarang boleh kan?! Lagian cuman begini saja. Steve lupa yah, cici kan sudah punya suami.”, jawab dia lagi.
“Ya udah. Terserah Ci Jes. Tapi suaranya dikecilin yah. Ntar mbak kedengaran lagi.”, pintaku.
Tanpa basa-basi, Jesi langsung putar aja film-film porno itu. Anehnya 
seakan-akan Jesi terlihat menikmati film-film porno tersebut. Koleksiku 
termasuk banyak dan dari banyak negara, ada Amrik, Australia, Canada, 
Jepang, Hongkong, Taiwan, Thailand, dan sedikit saja yang Indo. Maklum 
bokep Indo saat itu masih susah didapat. Berbeda dengan jaman sekarang.
Cukup lama Jesi menonton film-film bokep itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh panggilannya. Panggilan inilah awal dari segalanya.
“Steve, pinjitin cici dong? Minta mama tuh beliin kursi belajar yang enak. Bikin pegal aja.”, kata Jesi.
Terus terang sejak dulu, aku tidak pernah sungkan-sungkan untuk memijat 
Jesi apabila dia minta. Tapi kali ini aku keberatan, karena Jesi sedang 
nonton film porno. Sejak tadi aku pengen keluar dari kamar, dan 
membiarkan Jesi nonton sendirian. Tapi juga ada sedikit rasa ngga enak 
kalo meninggalkan dia sendiri. Aku berdiri di posisi yang serba salah. 
Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Jesi.
“Ehmm…ehmmm…”, suara Jesi keenakan.
“Kurang keras, ci Jes?”, tanyaku.
“Cukup steve. Tapi rada turun ke lengan sedikit yah.”, pinta Jesi.
Sekarang mau tidak mau aku ikut nonton film bokep itu bersama Jesi. Aku 
tidak berani berkata apa-apa. Malu dan risih itu alasan yang paling 
tepat. Aku akui sejak dari tadi rudal aku sudah cukup berdiri, tapi 
masih belum maksimum.
Cukup lama aku memijat pundak dan lengan Jesi. Tiba-tiba aku dikejutkan 
dengan suaranya yang membuat jantungku seakan-akan mau copot.
“Steve, pengen pijet susu cici ngga?”, tanya Jesi.
Jeblerrr, kayak kesambar petir, ingin segera pingsan saja aku dengan pertanyaan Jesi itu.
“Err … maksud ci Jes apa yah?”, tanyaku pura-pura bego.
“Iya, cici tanya Steve. Pengen ngga pijet susu cici?”, jawab Jesi sambil tangannya meraba payu daranya sendiri.
“Err … “, hanya itu yang bisa saja jawab.
Dengan malu-malu aku turunkan kedua telapak tangan aku menuju kedua payu
 daranya, dan meremasnya lembut. Tubuh Jesi tiba-tiba terkejut sejenak, 
kemudian santai lagi. Hanya beberapa detik saja, tiba-tiba Jesi berkata:
“Steve, stop dulu. Bentar, cici mau lepas BH dulu.”
Gila benar nih, aku dibikin ngga karuan saja. Jesi melepaskan BH nya dari dalam kaos putihnya tanpa menanggalkan kaosnya.
“Nah, kalo begini Steve lebih leluasa.”, katanya santai.
Terang aja, aku bisa merasakan daging lembut yang menonjol jelas dia 
dadanya, meskipun masih terbungkus kaos putihnya. Aku menelan ludah, 
malu, risih, grogi tapi kedua telapak tangan masih meremas-remas payu 
daranya. Rudal penisku sekarang menjadi berdiri tegak, dan amat keras.
“Ehmm…ehmmm…ahhh”, suara Jesi perlahan-lahan berubah seperti suara 
pemain wanita di film bokep yang sedang kami tonton. Tangan kanan Jesi 
sekarang sudah tidak memegang mouse computer lagi, tapi meremas telapak 
tanganku yang sedang sibuk meremas-remas payu daranya.
Aku benar-benar masih hijau dibidang beginian. Edukasi seks yang aku 
dapatkan hanya dari film-film bokep saja. Reality seks experience masih 
belum pernah sama sekali. Ini saja pertama kali aku meraba, meremas payu
 dara seorang wanita.
“Ahh… Steve … ahhh … “, suara Jesi makin sexy dan inilah pertama kali 
aku melihat wajah Jesi dalam keadaan terangsang alias horny. Kakak 
sepupu yang biasanya manis dan lembut, kini berubah menjadi wanita yang 
sedang haus akan seks. Aku tidak pernah menyangka kalau Jesi ternyata 
sangat mahir di bidang ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Jesi bertanya dengan vulgarnya, “Steve, pengen gituan ama cici ngga?!”.
“Anu, gituan apa ci?”, tanyaku pura-pura bego lagi.
“Steve jangan pura-pura bloon ah”, jawab Jesi sambil mencubit tanganku.
“Tapi Steve emang ngga tau, pengen gituan apa sih?”, jawabku masih pura-pura lagi.
“Idihh Steve, reseh nih. Maksud cici itu, Steve pengen ngga ngentot ama cici?”, kali ini pertanyaannya semakin bertambah vulgar.
Istilah ‘ngentot’ jarang dipakai di Surabaya waktu jaman itu. Istilah 
ini umum dipakai di Jakarta dan sekitarnya. Mungkin karena dulunya Jesi 
pernah kuliah di Bandung, jadi istilah ini sudah biasa diucapkan 
olehnya.
“Hah?! Yakin nih ci Jes? Di sini sekarang? Ntar kedengaran mbak loh.”, jawab panik.
“Kunci aja pintunya. Kayaknya mbak lagi tidur siang. Lagian kita putar musik aja biar ngga kedengeran.”, jawab Jesi.
Tanpa diberi aba2, dengan cepat aku mengunci pintu kamar, kemudian 
menutup film bokep tadi dan menggantikannya dengan mp3 program. Jesi 
sudah berbaring di atas ranjangku sambil memandangku yang sedang berdiri
 di samping ranjang. Tidak tahu harus mulai dari mana.
Seakan-akan mengerti dengan tingkah lakuku yang mau hijau. Jesi kemudian
 menarik tubuhku agar bergabung dengannya di atas ranjang. Tanpa 
malu-malu, tangan Jesi menjulur ke dalam celana boxerku, dan dengan 
singkat saja batang penisku telah digenggamnya dengan mudah.
“Wah, kok dah tegang nih?”, tanya Jesi menggoda.
“Ah, ci Jes bisa aja nih?”, jawabku malu-malu.
“Steve pernah ngga gituan ama cewek lain?”, tanya Jesi penasaran.
“Menurut ci Jes gimana?”, jawabku malu-malu.
“Kalau menurut cici sih, kayaknya belum pernah yah. Steve masih malu-malu gitu … tapi MAU!”, godanya lagi.
“Cici ajarin Steve yah. Tapi ini untuk kali ini saja. Tidak bakalan ada 
lain kali. Cici mau ambil Steve punya perjaka.”, kata Jesi sambil 
tertawa.
Aku seperti tidak mengenal Jesi sebagai kakak sepupuku yang seperti 
biasanya. Perasaan sayang aku sebagai adik sepupu terhadap kakak sepupu 
berubah menjadi perasaan nafsu birahi. Pengen sekali aku menidurinya dan
 menikmati tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Dengan segera saja kulepas semua pakaian yang aku kenakan termasuk 
celana boxerku. Kini aku yang terlanjang bulat. Mungkin karena terlalu 
nafsu dan grogi, aku sampai lupa kalau Jesi masih berpakaian lengkap. 
Brrr… semburan angin AC benar-benar dingin. Dengan segera aku matikan AC
 di kamar. Reflek tubuh aku untuk menghindari dari masuk angin.
“Ci Jes, ngga lepas baju?”, tanya aku lugu.
“Ntar dulu, pelan-pelan dong sayang.”, jawab Jesi santai.
Terus terang panggilan kata ’sayang’ di sini berbeda sekali rasanya 
dengan kata ’sayang’ yang sering Jesi ucapkan dulu-dulunya. Kali ini 
seakan-akan kata ’sayang’ yang berarti seperti ‘aku milikmu’ atau 
‘nikmatilah aku’, atau apalah gitu. Yang pasti berbau seks.
Aku berbaring di atas ranjang dengan posisi badan terlentang, kedua 
telapak tangan di atas perut, dan dengan batang penis yang menegang. 
Jesi seperti mengerti apa yang harus dia perbuat. Jesi mengarahkan 
tubuhnya diatas tubuhku dan memulai actionnya.
Pertama-tama dia mencium leherku, kemudian menjilati kuping aku. Tentu saja bulu romaku berdiri dibuatnya.
Aku mencoba mencium bibirnya, tapi tiap kali aku mencoba, Jesi selalu menghindar saja.
“Ci Jes, Steve mau cium bibir cici.”, kataku.
“Jangan Steve. Ciuman bibir kan hanya buat pacar. Cici kan bukan pacar kamu.”, jawab Jesi.
Aku hanya mengangguk saja pertanda setuju, dan kemudian membiarkan 
dirinya menjelajahi seluruh tubuhku. Jesi benar-benar mahir dalam bidang
 beginian. Dia dengan cepat bisa mengetahui dimana titik kelemahanku 
tanpa harus bertanya kepadaku. Dengan tanpa ragu-ragu dia mengulum 
lembut batang penisku, dengan sesekali menjilat-jilatnya. Tubuhku bak 
melayang di surga, setiap hisapan yang dia berikan terhadap batang 
penisku membuatku melayang-layang.
Cukup lama dia bermain dengan batang penisku, akhirnya dia berhenti dan 
membuka kaosnya. Oh my gosh, pertama kali ini aku melihat sepasang payu 
dara indah milik Jesi. Selama aku hanya menikmati bagian atasnya saja 
yang putih mulus ditutupi oleh baju renang. Kali ini semuanya terbuka 
lebar. Begitu putih, mulus, dan warna putingnya yang coklat muda 
menantang di depan mataku.
Jesi menyuruhku mengulum puting susu-nya. Untuk yang ini aku bisa, seperti mengulum permen cup-pa-cup saja.
“ahh … ahh …”, terdengar suara erangan halus Jesi. Dia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh pembantuku.
“Steve, tolong lepas celana cici dong?!”, pintanya lembut. Tentu saja 
tawaran yang mahal. Dengan segera aku lepaskan celana jeansnya plus 
celana dalamnya.
Sekali lagi … OH MY … aku menjadi sesak napas sekarang. Aku sekarang 
bisa melihat memek Jesi dengan jelas. Sungguh indah, lebih indah dari 
memek-memek yang pernah aku lihat dari film-film porno. Jembutnya juga 
halus dan tidak begitu lebat. Paha-nya mulus, dan perutnya langsing. 
Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya bahwa Jesi se-sexy ini. Walaupun
 telah menikah lebih dari 2 tahun, Jesi masih rajin merawat bentuk 
tubuhnya.
Terpintas di dalam pikiranku untuk menjilat-jilati memek milik Jesi 
seperti yang sering aku lihat di film bokep. Tapi niat ini ditolak oleh 
Jesi, mungkin karena takut aku tidak tahan mencium aroma memek. Jadi aku
 hanya diperbolehkan untuk memainkan tanganku di bagian itilnya. Memek 
Jesi lembut sekali dan kini menjadi basah. Suara erangan nikmat Jesi 
semakin menjadi-jadi, dan kadang-kadang sedikit terlepas kontrol.
“Steveee, ahhh … ahhh … geli Steve…”, suara Jesi yang sedang bernapsu.
“Enak ci Jes?”, tanyaku. Tapi Jesi seakan-akan tidak mendengar 
pertanyaan ini. Dia masih tetap berkonsentrasi dan menikmati setiap 
sentuhan-sentuhan yang aku berikan.
Memek Jesi semakin basah dan licin. Kali ini tubuhnya sedikit menegang. 
Saat itu aku tidak mengerti apa yang akan terjadi dengannya, yang 
terdengar dari mulutnya hanya “Steve … ahh ahh … cici mau datangggg … 
cici mau datanggg”. Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba tubuh Jesi 
mengejang dan menjerit keras. Aku panik dan segera saja aku tutup 
mulutnya dengan tanganku. Napasnya terengah-engah, dan memelukku 
sekencang mungkin. Tubuh Jesi berkeringat, maklum saat itu AC telah aku 
matikan, mengingat Surabaya kota yang panas, tidak heran Jesi jadi 
berkeringat.
“Steve … thank you …”, katanya sambil terengah-engah.
“Steve mau rasain masuk ke sini ngga?”, katanya sambil menunjuk memeknya
 yang sudah basah. Aku hanya mengangguk malu-malu sambil berkata, “Kalo 
ci Jes ijinin, Steve mau aja masuk ke sana.”.
“Idih, genit kamu. Jelas cici ijinin dong. Masa cici cuma ijinin pegang. Kan tanggung.”, jawabnya genit.
Kemudian dia menambahkan, “Steve, tapi ini hanya untuk hari ini saja 
yah. Dan ini hanya rahasia kita berdua saja. Jangan sampai ini 
terbongkar ke orang lain, apalagi kalo sampai suami cici tau. Cici bisa 
bunuh diri.”, katanya serius.
“Husss … mana boleh begitu ci Jes”, jawabku tegas.
“Makanya, Steve harus jaga rahasia ini, ok?!”, pintanya. Aku hanya memberikan signal peace, yang berarti ‘I swear’.
“Sekarang Steve ambil posisi di atas cici. Cici tuntun dedek Steve dulu.
 Jangan sembarangan main tusuk yah?!”, katanya lagi. Aku hanya bisa 
mengangguk saja.
Dengan mengambil posisi di atasnya, Jesi mencoba menuntun batang penisku
 masuk ke dalam memeknya. Aku menjadi ngga sabar lagi, pengen 
cepat-cepat masuk ke dalam. Aku begitu bernafsu saat itu. Selesai 
berhasil menembus masuk ke dalam memek Jesi, mata Jesi terpejam dan 
mulutnya bersuara basah “ugghh…”. Saat penisku terbenam di dalamnya, aku
 belum ingin mencoba memainkan pinggulku. Aku ingin merasakan hangatnya 
memek Jesi untuk beberapa saat. Pertama kali penisku masuk ke liang 
vagina wanita.
“Kenapa Steve. Kok diam saja?”, tanya Jesi.
“Steve pengen diam dulu ci. Punya cici anget banget.”, jawabku.
“Enak?”, tanya Jesi sekali lagi, dan aku menganggukan kepalaku.
“Kalau gitu kocok sekarang yah, ntar kalau Steve pengen keluar pejunya, 
keluarin aja yah. Jangan mencoba untuk ditahan. Ini kan pertama kali 
buat Steve, jadi cici bisa maklum kalo Steve belum bisa mengontrol 
keluarnya peju.”, jelas Jesi.
Perlahan-lahan aku memainkan pinggulku. Aku belum terbiasa. Aku sedikit 
grogi. Jesi membantuku memainkan pinggulku agar dorongan dan irama 
kocokan batang penisku lebih berirama. Selangkangan Jesi dibuka lebih 
lebar olehnya, agar memberikan ruangan untukku bergerak lebih leluasa.
“Ahhh…Steve…cepet pinter kamu…yah di sono terus … terus lebih dalam lagi…”, puji Jesi. Aku hanya tersenyum saja.
“Uhhh … ohhh… uhhh…”, desahan Jesi menjadi-jadi. Jesi berusaha sekuat 
mungkin menahan desahannya agar tidak sampai terdengar terlalu keras. 
Jesi tampak bernafsu sekali, dan mulai mengeluarkan kata-katanya yang 
jorok. Aku pun mendengar kata-kata jorok Jesi, menjadi makin bernafsu 
juga. Aku merasa seperti lelaki satu-satunya yang mampu memuaskan nafsu 
birahi Jesi.
“Steveee … entotin cici terus … entot cici terus … kontolnya enakkk bangettt sihhh … uuuhhh…”.
Melihat kelakuan Jesi, aku menjadi seakan-akan terbawa olehnya, dan 
seperti penyakit menular, akupun mulai ngomong yang jorok-jorok pula.
“Iya ci … Steve entotin terus memek cici … kalo bisa entot terus foreverrr …”, kacau deh kata-kataku.
“Steveee … cici mau kencinggg … geliii bangettt … uuhhh …”.
Arti ‘kencing’ di sini bukan bukan air seni beneran, tapi karena terlalu
 gelinya Jesi merasa seakan-akan pengen kencing. Yang pasti memek Jesi 
makin basah saja.
“Uhh…ohhh … suka ngga ngentot ama cici … suka ngga? memek cici enak ngga? … “, tanya Jesi kacau.
“Enakkk bangettt cici … enakkk banget … Steve nanti kapan-kapan minta lagi yah? … ngga mau sekali doang, pleaseee …”, mohonku.
“Iyaaa … iyaaa … asal Steve sukaaa … Steve boleh entot cici terusss … 
uuhh … oohhh”, jawabnya. Aku menjadi amat gembira mendengarnya.
“Ci Jes suka ngentot ternyataa yahhh … baru tau Steve”, kataku.
“Siapaaa di dunia ini yang ngga suka ngentot, heh? Cici juga manusia kann…”, jawab Jesi.
Tubuhku terus memompa-mompa Jesi, dan kali ini aku yang menjadi 
berkeringat. Hampir seluruh badanku basah, dan itu membuat Jesi semakin 
bernafsu. Kadang-kadang dia mengusap dadaku yang berkeringat dengan 
telapak tangannya, dan kadang-kadang menjambak lembut rambutku.
“Ci Jes …ahhh… Steve kayaknya mau meledakkk ntar lagii … gimana nihhh”, kataku panik.
“Keluarin ajaaa kalo dah ngga tahann …”, jawabnya.
“Iyaaa … Steve mau keluarrr ntar lagii … cici siap-siap yah”, kataku lagi. Jesi hanya mengangguk saja.
Kupercepat lagi goyangan pingguku. Jesi menjadi seperti cacing kepanasan.
“Steveee … cici juga mau datanggg … enakk bener kontolnya sihhh …”, puji Jesi lagi.
“Ci Jes … dah dipuncakkk nihhh … ntar lagiii … ntar lagiii …”, kataku ngga karuan.
“Barengan yah sayanggg … ahhh ahhh … cici juga mau datang sayanggg …”, Jesi mengingau.
Mendengar kata ’sayang’ lagi, aku menjadi tambah bernafsu lagi. 
Bendungan pejuku sebentar lagi jebol, dan aku tau pasti kalau itu 
bakalan tidak lama lagi.
“Ci Jes … Steve ntar lagiii datanggg …”, kataku memberi aba-aba.
“Iya sayanggg, keluarin yah sayanggg … uuhhh … oohhh ….”.
Selang beberapa detik kemudian …
“Ci Jes … Steve datanggg … ahhhh … ahhhh …”, kataku sambil batang penisku mengeluarkan semua pejunya di dalam liang memek Jesi.
“Ahhh … Steve sayanggg … cici juga keluarrrr … ahhh … ahhh …”, sahut Jesi sambil memeluk tubuhku yang basah kuyung.
Kubiarkan batang penisku menumpahkan lava hangat di dalam liang memek 
Jesi. Jesi masih memeluk tubuhku dengan napas terengah-engah. Setelah 
selang beberapa saat, wajah kami saling berhadapan, dan Jesi segera 
mencium keningku.
“Steve, thank you sekali lagi yah.”, kata Jesi.
“Steve juga thank you buat ci Jes. Ini pengalaman berharga Steve.”, jawabku.
“Ngga nyesel kamu Steve?”, tanya Jesi penasaran.
“Tidak sama sekali.”, jawabku tegas yang kemudian terlihat Jesi tersenyum manis.
“Idih … peju perjaka banyak banget. Ngga cukup memek cici yang 
menampung. Tapi sekarang dah ngga perjaka lagi nih!”, canda Jesi. Aku 
hanya tersenyum saja.
“Tapi untuk ukuran perjaka, Steve termasuk hebat loh. Masih saja mampu bikin cici datang sekali lagi.”, pujinya.
“Ci Jes, bener ngga sih kalo cewek menelan peju perjaka bisa awet muda?”, tanyaku bercanda.
“Idih … mana ada yang begituan. Itu kan cuman mitos aja”, jawab Jesi.
Posisi batang penisku masih menancap di dalam memek Jesi. Masih agak 
keras sih, tapi nafsu birahiku sudah mereda. Aku biarkan batang penisku 
di dalam sana sambil memeluk tubuh Jesi. Tubuhku basah kuyup, dan 
untungnya Jesi tidak sungkan-sungkan memeluk tubuhku yang sedang penuh 
bermandikan keringat. Aku merasa Jesi memang sayang kepadaku.
Tak terasa total waktu kita berperang di atas ranjang lebih dari 3 jam. 
Jam 6 sorean Jesi pamit pulang, karena dia ada janji dengan teman-teman 
masa SMA-nya dulu. Pada malam harinya aku menerima sms darinya yang 
berkata: “Steve, ingat janjinya yah. Jangan bilang-bilang sama 
siapa-siapa. Ntar cici ngga kasih lagi loh?!”.
Kemudian aku balas smsnya, “Kalau ci Jes mau Steve tutup mulut tentang 
rahasia ini, tolong sumbat mulut Steve ama susu ci Jes lagi deh.”.
“Idih … masih kurang yah?! Dah ketagihan nih yah?! Ntar sebelon cici pulang ke Smrd, cici kasih lagi deh.”, balesnya.
Malam itu aku tidak bisa tidur, teringat-ingat kejadian erotis siang 
hari itu. Aku tidak menyangka kakak sepupu yang paling aku sayang dan 
yang paling aku hormati, kini telah aku tiduri. Aku tidak menyangka 
kalau Jesi adalah wanita pertama yang pernah aku tiduri. Yang lebih 
mengejutkan lagi, dia adalah kakak sepupu sendiri yang mana kami berdua 
masih ada sedikit hubungan darah (antara ibuku dan ibunya).
Ada sedikit rasa bersalah dan menyesal, tapi karena aku masih tergolong 
pemuda yang gampang bernafsu, aku masih memiliki pemikiran dan harapan 
untuk meniduri Jesi sekali lagi sebelum dia pulang ke Samarinda. Dan 
untungnya pemikiran atau harapanku ini tidaklah sia-sia, selama sisa 6 
hari liburannya di Surabaya, kami selalu mencari kesempatan untuk 
‘bercinta’. Di kamarku, di kamarnya, dan sekali di bak mandi di 
rumahnya.
Jesi telah berubah bukan saja sekedar kakak sepupu saja, tapi lebih 
menjadi guru seks-ku. Dia terlihat sangat mahir dalam memuaskan nafsu 
birahi laki-laki. Jurus goyang pinggulnya dengan posisi dia diatas mampu
 membuatku babak belur. Seakan-akan dengan posisinya di atas, memeknya 
terasa seperti meremas-remas dan menyedot batang penisku. Pertama kali 
Jesi mengenalkan jurus goyang pinggulnya, aku tidak mampu bertahan, dan 
hanya beberapa kali goyangan pinggulnya, aku langsung ejakulasi. Jesi 
sempat menyindir canda waktu itu, dan maklum melihat kejadian ini.
Sehabis setelah bersetubuh dengan Jesi, aku banyak bertanya tentang 
pengalaman seks-nya dengan Bram dan kadang kala aku membandingkan diriku
 dengan Bram. Tentu saja menurutnya, aku masih sedikit kalah 
dibandingkan suami-nya sendiri. Tapi Jesi mengakui kalau aku sering 
‘bermain’ dengannya, aku akan lebih ‘jago’ daripada suami-nya sendiri. 
Masalah ukuran penis, Jesi bilang punyaku lebih panjang daripada punya 
Bram, tapi milik suami-nya lebih melebar kesamping alias lebih gendut. 
Sewaktu aku menanyakan enak mana yg panjang atau yang gendut, dia 
menjawab kedua-duanya memiliki keasyikan yang sangat berbeda. Dan dia 
menambahkan sambil bercanda alangkah lebih baik bila ada yang panjang 
dan gendut. Langsung aja aku merespon candanya dengan mengajak threesome
 dengan Bram. Jesi menjawab lebih baik dia mati daripada harus threesome
 dengan suami-nya sendiri.
Jesi pernah mengaku bahwa dia tidak pernah sebelumnya menaruh perasaan 
nafsu kepadaku. Hanya karena dia telah hilang kontak denganku lebih dari
 2 tahun lamanya, dan sekembalinya dia ke Surabaya, aku telah banyak 
berubah terutama dari segi fisik. Dia memujiku bertambah tampan, dan 
bertubuh padat. Mungkin keaktifanku berenang seminggu 2 kali, menjadikan
 badanku terlihat padat, meskipun tidak gempal. Karena inilah Jesi 
mengaku bahwa dia sangat mengagumi perubahan fisikku ini, dan akhirnya 
memberanikan dirinya untuk mencoba seducing atau menggodaku secara 
seksual atau singkatnya bermain api denganku. Sebenarnya dia sendiri 
takut bukan main sebelum persetubuhan kami yang pertama. Takut akan 
penolakanku, dan takut apabila ketahuan pembantu rumahku. Tapi semenjak 
persetubuhan pertama kami berhasil, Jesi mengaku menjadi semakin 
bernafsu denganku. Tidak heran setiap kali aku meminta jatah untuk 
menyetubuhinya, dia tidak pernah menolak sekali pun. Kalau saja 
situasinya tidak mengijinkan, dia hanya berbisik atau memberi tanda 
untuk menahan nafsuku dulu sampai nanti situasinya mengijinkan.
Kepulangan Jesi ke Samarinda menjadi pil pahit buatku. Karena guru 
seks-ku meninggalkanku di Surabaya sendiri. Hampir tiap hari aku 
ber-masturbasi sendiri sambil membayangkan memori-memori indah 
menyetubuhi Jesi. Aku merasa seperti pecundang saat itu, karena hanya 
masturbasi yang bisa aku lakukan. Sering aku menelpon Jesi lewat hp-nya,
 menceritakan betapa berat aku ditinggal olehnya, dan betapa rindunya 
aku dengannya. Jujur saja, aku hanya rindu akan kehebatannya ‘bercinta’,
 bau tubuhnya, dan nikmatnya ejakulasi di dalam liang memeknya. Perlu 
diketahui bahwa selama bersetubuh dengan Jesi waktu itu, aku tidak 
pernah memakai kondom sekalipun, bahkan belum pernah memegang apa itu 
kondom sampai hubungan seks berikutnya dengan pacar pertamaku. Aku tidak
 pernah menanyakan apa Jesi oke saja dengan aku berejakulasi di dalam 
liang memeknya. Sempat aku kuatir apabila dia hamil karena spermaku. 
Namun aku lega karena setelah 1.5 tahun kemudian Jesi baru dinyatakan 
positif hamil. Jadi jarak waktunya berbeda jauh dengan kekhawatiranku.
Semenjak itu, aku belum pernah lagi ‘bercinta’ lagi dengan Jesi. 
Meskipun kadang-kadang setiap kali pulang ke Surabaya, aku sempat 
mengajaknya ‘1 kali saja’. Tapi ajakanku selalu ditolaknya, karena Bram 
ada di sana pula bersama anaknya yang baru lahir. Sampai akhirnya aku 
memutuskan untuk pindah ke Jakarta, mencari karirku di sana.
Aku belajar banyak dari Jesi, dia selalu memberiku tips-tips cara 
menaklukkan wanita di atas ranjang. Meskipun kami sudah tidak pernah 
lagi ‘bercinta’, tapi kamu masih tetap berhubungan baik. Seakan-akan 
tiada rasa bersalah atau rasa aneh semenjak kejadian itu di antara kami.
 Jesi banyak memberikan nasehat kepadaku tentang perbedaan cinta dan 
nafsu. Jesi jujur mengatakan kepadaku bahwa saat itu dia hanya nafsu 
terhadapku, dan hanya ada cinta terhadap Bram.
Tips-tips pemberian Jesi amatlah mujarab dan bervariasi. Bekas 
pacar-pacarku dan teman-teman ‘one night stand’ di Jakarta (maklum bila 
di kota metropolis ini, seks bebas telah menjadi rahasia umum) menyukai 
gaya permainan ranjangku.
Mungkin bila ada kesempatan, aku akan menceritakan pengalaman menarik 
lain yang aku alami dengan bekas pacar-pacarku, dan juga teman-teman 
‘one night stand’. Perlu para pembaca cerita seru indodiva tau, banyak 
wanita-wanita karir dan executive di Jakarta yang tidak mengenakan 
celana dalam waktu mereka sedang tandang di dugem-dugem Jakarta. Percaya
 atau tidak, ini kebanyakan mereka lakukan dengan sengaja. Setelah aku 
tanyakan alasan mereka, salah satunya untuk membuatnya praktis 
memasukkan batang penis pasangan-nya tanpa diketahui oleh orang-orang 
sekitar.

No comments:
Post a Comment