Waktu itu usiaku 23 tahun. Aku duduk di tingkat akhir suatu perguruan 
tinggi teknik di kota Bandung. Wajahku ganteng. Badanku tinggi dan 
tegap, mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali. 
Teman-¬temanku bilang, kalau aku bermobil pasti banyak cewek yang dengan
 sukahati menempel padaku. Aku sendiri sudah punya pacar. Kami pacaran 
secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju kami 
nanti menikah. Tempat kos-ku dan tempat kos-nya hanya berjarak sekitar 
700 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamar kosnya. Walaupun demikian
 bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya. Dalam masalah
 pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan 
remas-remasan. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. Toh
 walaupun hanya begitu, kalau “voltase”-ku sudah amat tinggi, aku dapat 
“muntah” juga. Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan
 menikah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menikah. Aku 
menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran 
sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan memiaw 
perempuan.
Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, 
sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku 
pergi ke kosnya. Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis 
tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di 
ruang tamu. Kamar kos-nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 3mX6m. 
Kamar sebesar itu disekat dengan triplex menjadi ruang tamu dengan 
ukuran 3mX2.5m dan ruang tidur dengan ukuran 3mX3.5m. Lobang pintu di 
antara kedua ruang itu hanya ditutup dengan kain korden.
lbu kost-nya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis 
sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menikah,
 anak yang kedua duduk di kelas 3 SMA, anak ketiga kelas I SMA, dan anak
 bungsu masih di SMP. Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, 
menikahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang 
kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Ika. Dia 
dikabarkan sudah pernah hamil dengan pacarya, namun digugurkan. Menurut 
penilaianku, Ika seorang playgirl. Walaupun sudah punya pacar, pacarnya 
kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki
 lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke kos pacarku, dia pun 
suka mejeng dan bersikap genit dalam menyapaku.
lka memang mojang Sunda yang amat aduhai. Usianya akan 18 tahun. 
Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. 
Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping. Buah dadanya padat dan 
besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga 
pantatnya membusung dengan montoknya. Untuk gadis seusia dia, mungkin 
payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena 
terbiasa dinaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan
 mulus. Lehernya jenjang. Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit 
mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau 
memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas 
bibir yang sudah ada. Rambutnya lebat yang dipotong bob dengan indahnya.
Sore itu sehabis mandi aku ke kos pacarku seperti biasanya. Di teras 
rumah tampak Ika sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Ika 
mengenakan baju atas “you can see” dan rok span yang pendek dan ketat 
sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan 
jelasnya.
“Mas Bob, ngapel ke Mbak Dina? Wah.. sedang nggak ada tuh. Tadi pergi 
sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Ika dengan centilnya.
“He.. masa?” balasku.
“Iya.. Sudah, ngapelin Ika sajalah Mas Bob,” kata Ika dengan senyum 
menggoda. Edan! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau 
mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he-he..
“Ah, neng Ika macam-macam saja..,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Kak Dai belum datang?”
Pacar Ika namanya Daniel, namun Ika memanggilnya Kak Dai. Mungkin Dai 
adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Daniel. Daniel 
berasal dan Bogor. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat 
saja. Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan 
selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu
 isya, dia masuk ke kamar Ika. Kapan dia punya kesempatan belajar?
“Wah.. dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Kak Dai lagi kerja 
praktek di Riau. Makanya carikan teman Mas Bob buat menemani Ika dong, 
biar Ika tidak kesepian.. Tapi yang keren lho,” kata Ika dengan suara 
yang amat manja. Edan si playgirl Sunda mi. Dia bukan tipe orang yang 
ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka 
nyerempet-nyerempet hat yang berbahaya.
“Neng Ika ini.. Nanti Kak Dai-nya ngamuk dong.”
“Kak Dai kan tidak akan tahu..”
Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Ika ini memang enak
 ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian 
tubuhnya.
Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar kos Dina. Di atas meja 
pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Dina. Sambil membuka jendela 
ruang depan dan ruang tidur, kubaca isi memo tadi. “Mas Bobby, gue 
ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi 
gue malam ini tidak pulang. Gue tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada 
jeruk, ambil saja. Soen sayang, Dina”
Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di tempat kos Di. 
Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu.
 Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam.
Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dan luar. Tok-tok-tok..
Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam 
delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Ika yang
 berdiri di depan pintu.
“Mbak Di.. Mbak Dina..,” terdengar suara Ika memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.
“Mbak Dina sudah pulang?” tanya Ika.
“Belum. Hari ini Dina tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”
“Mau pinjam kalkulator, mas Bob. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”
“Ng.. bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”
“Beres deh mas Bob. Ika berjanji,” kata Ika dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.
Kuberikan kalkulatorku pada Ika. Ketika berbalik, kutatap tajam-tajam 
tubuhnya yang aduhai. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke
 kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas¬-remasnya. Sialan! 
Kontholku jadi berdiri. Si “boy-ku” ini responsif sekali kalau ada cewek
 cakep yang enak digenjot.
Sepeninggal Ika, sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian 
kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook
 yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.
Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.
“Mas Bob.. Mas Bob..,” terdengar Ika memanggil lirih.
Pintu kubuka. Mendadak kontholku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri 
Ika dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan “you can see” yang 
dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh 
dada dengan ikatan tali ke pundaknya. Baju tersebut berwarna kuning muda
 dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang 
ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya. Sepertinya dia tidak 
memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau 
parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang 
kali ini si Ika menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun 
dipolesi lipstik pink.
“Ini kalkulatornya, Mas Bob,” kata Ika manja, membuyarkan keterpanaanku.
“Sudah selesai. Neng Ika?” tanyaku basa-basi.
“Sudah Mas Bob, namun boleh Ika minta diajari Matematika?”
“0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”
Tanpa kupersilakan Ika menyelonong masuk dan membuka buku matematika di 
atas meja tamu yang rendah. Ruang tamu kamar kos pacarku itu tanpa 
kursi. Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di 
salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, 
sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan. Memang
 pintu kamar kos pacarku kalau mau disengaja terbuka harus diganjal 
potongan kayu kecil.
“Ini mas Bob, Ika ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara 
penyelesaiannya.” Ika mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.
Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke 
dadanya. Amboi! Benar, Ika tidak memakai bra. Dalam posisi agak 
menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh 
padat, mulus, dan indah. Kontholku terasa mengeras dan sedikit 
berdenyut-denyut.
Halaman yang dicari ketemu. Ika dengan centilnya membaca soal tersebut. 
Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, 
kemudian Ika menghitungnya. Sambil menunggu Ika menghitung, mataku 
mencuri pandang ke buah dada Ika. Uhhh.. ranum dan segarnya.
“Kok sepi? Mamah, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan 
ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon 
yang pulangnya setiap akhir pekan.
“Sudah. Mamah sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan 
Nur berangkat tidur waktu Ika bermain-main kalkulator tadi,” jawab Ika 
dengan tatapan mata yang menggoda.
Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Ika. Mumpung sepi. 
Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Kamar kos sebelah sudah sepi dan 
sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur. Kalau kupaksa
 dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. 
Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru 
ingin bersetubuh denganku. Soal tanya Matematika, itu hanya sebagai 
atasan saja. Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can 
see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang 
lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi 
dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau 
tidak menyodorkan din?
Tiba-tiba Ika bangkit dan duduk di sebelah kananku.
“Mas Bob.. ini benar nggak?” tanya Ika.
Ada kekeliruan di tengah jalan saat Ika menghitung. Antara konsentrasi 
dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan 
menjelaskan kekeliruannya. Tiba-tiba Ika lebih mendekat ke arahku, 
seolah mau memperhatikan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat.
 Akibatnya.. gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan 
lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketika dia lebih 
menekanku terasa lebih kenyal.
Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.
“Ih.. Mas Bob nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.
“Lho, yang salah kan Neng Ika duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.
lka cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia 
terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku 
itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang. Kenapa aku 
tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini 
malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja 
memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara. Dia sengaja tidak
 pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati 
kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan 
kesempatan yang dia berikan atau memanfaatkannya. Kalau aku 
menyia-siakan berarti aku band!
Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari 
belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal 
mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Kulit punggung dan lengannya 
benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, 
kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi 
oleh bulu-bulu rambut yang halus.
Kemudian aku menempelkan kontholku yang menegang ke punggungnya. Ika 
sedikit terkejut ketika merasa ada yang menempel punggungnya.
“Ih.. Mas Bob jangan begitu dong..,” kata Ika manja.
“Sudah.. udah-udah.. Aku sekedar mengawasi pekerjaan Neng Ika,” jawabku.
lka cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah
 tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan 
dilumat-lumat. Ika berpura-pura meneruskan pekerjaannya. Aku semakin 
berani. Kontholku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Ika 
menggelinjang. Tidak tahan lagi. Tubuh Ika kurengkuh dan kurebahkan di 
atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya 
kuremas-remas. Bibir Ika mengadakan perlawanan, mengimbangi 
kuluman-¬kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. 
Terlihat bahkan dalam masalah ciuman Ika yang masih kelas tiga SMA sudah
 sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.
Beberapa saat kemudian ciumanku berpindah ke lehernya yang jenjang. Bau 
harum terpancar dan kulitnya. Sambil kusedot-sedot kulit lehernya dengan
 hidungku, tanganku berpindah ke buah dadanya. Buah dada yang tidak 
dilindungi bra itu terasa kenyal dalam remasan tanganku. Kadang-kadang 
dan batik kain licin baju atasannya, putingnya kutekan-tekan dan 
kupelintir-pelintir dengan jari-jari tanganku. Puting itu terasa 
mengeras.
“Mas Bob, Mas Bob buka baju saja Mas Bob..,” rintih Ika. Tanpa menunggu 
persetujuanku, jari-jari tangannya membuka Ikat pinggang dan ritsleteng 
celanaku. Aku mengimbangi, tali baju atasannya kulepas dan baju tersebut
 kubebaskan dan tubuhnya. Aku terpana melihat kemulusan tubuh atasnya 
tanpa penutup sehelai kain pun. Buah dadanya yang padat membusung dengan
 indahnya. Ditimpa sinar lampu neon ruang tamu, payudaranya kelihatan 
amat mulus dan licin. Putingnya berdiri tegak di ujung gumpalan 
payudara. Putingnya berwarna pink kecoklat-coklatan, sementara puncak 
bukit payudara di sekitarnya berwarna coklat tua dan sedikit menggembung
 dibanding dengan permukaan kulit payudaranya.
Celana panjang yang sudah dibuka oleh Ika kulepas dengan segera. 
Menyusul. kemeja dan kaos singlet kulepas dan tubuhku. Kini aku cuma 
tertutup oleh celana dalamku, sementara Ika tertutup oleh rok span ketat
 yang mempertontonkan bentuk pinggangnya yang ramping dan bentuk 
pinggulnya yang melebar dengan bagusnya. Ika pun melepaskan rok spannya 
itu, sehingga pinggul yang indah itu kini hanya terbungkus celana dalam 
minim yang tipis dan berwarna pink. Di daerah bawah perutnya, celana 
dalam itu tidak mampu menyembunyikan warna hitam dari jembut lebat Ika 
yang terbungkus di dalamnya. Juga, beberapa helai jembut Ika tampak 
keluar dan lobang celana dalamnya.
lka memandangi dadaku yang bidang. Kemudian dia memandang ke arah 
kontholku yang besar dan panjang, yang menonjol dari balik celana 
dalamku. Pandangan matanya memancarkan nafsu yang sudah menggelegak. 
Perlahan aku mendekatkan badanku ke badannya yang sudah terbaring 
pasrah. Kupeluk tubuhnya sambil mengulum kembali bibirnya yang hangat. 
Ika pun mengimbanginya. Dia memeluk leherku sambil membalas kuluman di 
bibirnya. Payudaranya pun menekan dadaku. Payudara itu terasa kenyal dan
 lembut. Putingnya yang mengeras terasa benar menekan dadaku. Aku dan 
Ika saling mengulum bibir, saling menekankan dada, dan saling meremas 
kulit punggung dengan penuh nafsu.
Ciumanku berpindah ke leher Ika. Leher mulus yang memancarkan keharuman 
parfum yang segar itu kugumuli dengan bibir dan hidungku. Ika 
mendongakkan dagunya agar aku dapat menciumi segenap pori-pori kulit 
lehernya.
“Ahhh.. Mas Bob.. Ika sudah menginginkannya dan kemarin.. Gelutilah 
tubuh Ika.. puasin Ika ya Mas Bob..,” bisik Ika terpatah-patah.
Aku menyambutnya dengan penuh antusias. Kini wajahku bergerak ke arah 
payudaranya. Payudaranya begitu menggembung dan padat. namun berkulit 
lembut. Bau keharuman yang segar terpancar dan pori-porinya. Agaknya Ika
 tadi sengaja memakai parfum di sekujur payudaranya sebelum datang ke 
sini. Aku menghirup kuat-kuat lembah di antara kedua bukit payudaranya 
itu. Kemudian wajahku kugesek-gesekkan di kedua bukit payudara itu 
secara bergantian, sambil hidungku terus menghirup keharuman yang 
terpancar dan kulit payudara. Puncak bukit payudara kanannya pun kulahap
 dalam mulutku. Kusedot kuat-kuat payudara itu sehingga daging yang 
masuk ke dalam mulutku menjadi sebesar-besarnya. Ika menggelinjang.
“Mas Bob.. ngilu.. ngilu..,” rintih Ika.
Gelinjang dan rintihan Ika itu semakin membangkitkan hasratku. Kuremas 
bukit payudara sebelah kirinya dengan gemasnya, sementara puting 
payudara kanannya kumainkan dengan ujung lidahku. Puting itu kadang 
kugencet dengan tekanan ujung lidah dengan gigi. Kemudian secara 
mendadak kusedot kembali payudara kanan itu kuat-kuat. sementara jari 
tanganku menekan dan memelintir puting payudara kirinya. Ika semakin 
menggelinjang-gelinjang seperti ikan belut yang memburu makanan sambil 
mulutnya mendesah-desah.
“Aduh mas Booob.. ssshh.. ssshhh.. ngilu mas Booob.. ssshhh.. geli.. 
geli..,” cuma kata-kata itu yang berulang-ulang keluar dan mulutnya yang
 merangsang.
Aku tidak puas dengan hanya menggeluti payudara kanannya. Kini mulutku 
berganti menggeluti payudara kiri. sementara tanganku meremas-remas 
payudara kanannya kuat-kuat. Kalau payudara kirinya kusedot kuat-kuat. 
tanganku memijit-mijit dan memelintir-pelintir puting payudara kanannya.
 Sedang bila gigi dan ujung lidahku menekan-nekan puting payudara kiri, 
tanganku meremas sebesar-besarnya payudara kanannya dengan 
sekuat-kuatnya.
“Mas Booob.. kamu nakal… ssshhh.. ssshhh.. ngilu mas Booob.. geli..” Ika tidak henti-hentinya menggelinjang dan mendesah manja.
Setelah puas dengan payudara, aku meneruskan permainan lidah ke arah 
perut Ika yang rata dan berkulit amat mulus itu. Mulutku berhenti di 
daerah pusarnya. Aku pun berkonsentrasi mengecupi bagian pusarnya. 
Sementara kedua telapak tanganku menyusup ke belakang dan meremas-remas 
pantatnya yang melebar dan menggembung padat. Kedua tanganku menyelip ke
 dalam celana yang melindungi pantatnya itu. Perlahan¬-lahan celana 
dalamnya kupelorotkan ke bawah. Ika sedikit mengangkat pantatnya untuk 
memberi kemudahan celana dalamnya lepas. Dan dengan sekali sentakan 
kakinya, celana dalamnya sudah terlempar ke bawah.
Saat berikutnya, terhamparlah pemandangan yang luar biasa merangsangnya.
 Jembut Ika sungguh lebat dan subur sekali. Jembut itu mengitari bibir 
memiaw yang berwarna coklat tua. Sambil kembali menciumi kulit perut di 
sekitar pusarnya, tanganku mengelus-elus pahanya yang berkulit licin dan
 mulus. Elusanku pun ke arah dalam dan merangkak naik. Sampailah 
jari-jari tanganku di tepi kiri-kanan bibir luar memiawnya. Tanganku pun
 mengelus-elus memiawnya dengan dua jariku bergerak dan bawah ke atas. 
Dengan mata terpejam, Ika berinisiatif meremas-remas payudaranya 
sendiri. Tampak jelas kalau Ika sangat menikmati permainan ini.
Perlahan kusibak bibir memiaw Ika dengan ibu jari dan telunjukku 
mengarah ke atas sampai kelentitnya menongol keluar. Wajahku bergerak ke
 memiawnya, sementara tanganku kembali memegangi payudaranya. Kujilati 
kelentit Ika perlahan-lahan dengan jilatan-jilatan pendek dan 
terputus-putus sambil satu tanganku mempermainkan puting payudaranya.
“Au Mas Bob.. shhhhh.. betul.. betul di situ mas Bob.. di situ.. enak 
mas.. shhhh..,” Ika mendesah-desah sambil matanya merem-melek. Bulu 
alisnya yang tebal dan indah bergerak ke atas-bawah mengimbangi gerakan 
merem-meleknya mata. Keningnya pun berkerut pertanda dia sedang 
mengalami kenikmatan yang semakin meninggi.
Aku meneruskan permainan lidah dengan melakukan jilatan-jilatan panjang dan lubang anus sampai ke kelentitnya.
Karena gerakan ujung hidungku pun secara berkala menyentuh memiaw Ika. 
Terasa benar bahkan dinding vaginanya mulai basah. Bahkan sebagian 
cairan vaginanya mulai mengalir hingga mencapai lubang anusnya. Sesekali
 pinggulnya bergetar. Di saat bergetar itu pinggulnya yang padat dan 
amat mulus kuremas kuat-kuat sambil ujung hidungku kutusukkan ke lobang 
memiawnya.
“Mas Booob.. enak sekali mas Bob..,” Ika mengerang dengan kerasnya. Aku 
segera memfokuskan jilatan-jilatan lidah serta tusukan-tusukan ujung 
hidung di vaginanya. Semakin lama vagina itu semakin basah saja. Dua 
jari tanganku lalu kumasukkan ke lobang memiawnya. Setelah masuk hampir 
semuanya, jari kubengkokkan ke arah atas dengan tekanan yang cukup 
terasa agar kena “G-spot”-nya. Dan berhasil!
“Auwww.. mas Bob..!” jerit Ika sambil menyentakkan pantat ke atas. 
sampai-sampai jari tangan yang sudah terbenam di dalam memiaw terlepas. 
Perut bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu jembut hitam yang lebat itu pun 
menghantam ke wajahku. Bau harum dan bau khas cairan vaginanya merasuk 
ke sel-sel syaraf penciumanku.
Aku segera memasukkan kembali dua jariku ke dalam vagina Ika dan 
melakukan gerakan yang sama. Kali ini aku mengimbangi gerakan jariku 
dengan permainan lidah di kelentit Ika. Kelentit itu tampak semakin 
menonjol sehingga gampang bagiku untuk menjilat dan mengisapnya. Ketika 
kelentit itu aku gelitiki dengan lidah serta kuisap-isap perlahan, Ika 
semakin keras merintih-rintih bagaikan orang yang sedang mengalami sakit
 demam. Sementara pinggulnya yang amat aduhai itu menggial ke kiri-kanan
 dengan sangat merangsangnya.
“Mas Bob.. mas Bob.. mas Bob..,” hanya kata-kata itu yang dapat 
diucapkan Ika karena menahan kenikmatan yang semakin menjadi-jadi.
Permainan jari-jariku dan lidahku di memiawnya semakin bertambah ganas. 
Ika sambil mengerang¬-erang dan menggeliat-geliat meremas apa saja yang 
dapat dia raih. Meremas rambut kepalaku, meremas bahuku, dan meremas 
payudaranya sendiri.
“Mas Bob.. Ika sudah tidak tahan lagi.. Masukin konthol saja mas Bob.. 
Ohhh.. sekarang juga mas Bob..! Sshhh. . . ,” erangnya sambil menahan 
nafsu yang sudah menguasai segenap tubuhnya.
Namun aku tidak perduli. Kusengaja untuk mempermainkan Ika terlebih 
dahulu. Aku mau membuatnya orgasme, sementara aku masih segar bugar. 
Karena itu lidah dan wajahku kujauhkan dan memiawnya. Kemudian kocokan 
dua jari tanganku di dalam memiawnya semakin kupercepat. Gerakan jari 
tanganku yang di dalam memiawnya ke atas-bawah, sampai terasa ujung 
jariku menghentak-hentak dinding atasnya secara perlahan-lahan. 
Sementara ibu jariku mengusap-usap dan menghentak-hentak kelentitnya. 
Gerakan jari tanganku di memiawnya yang basah itu sampai menimbulkan 
suara crrk-crrrk-crrrk-crrk crrrk.. Sementara dan mulut Ika keluar 
pekikan-pekikan kecil yang terputus-putus:
“Ah-ah-ah-ah-ah..”
Sementara aku semakin memperdahsyat kocokan jari-jariku di memiawnya, 
sambil memandangi wajahnya. Mata Ika merem-melek, sementara keningnya 
berkerut-kerut.
Crrrk! Crrrk! Crrek! Crek! Crek! Crok! Crok! Suara yang keluar dan 
kocokan jariku di memiawnya semakin terdengar keras. Aku mempertahankan 
kocokan tersebut. Dua menit sudah si Ika mampu bertahan sambil 
mengeluarkan jeritan-jeritan yang membangkitkan nafsu. Payudaranya 
tampak semakin kencang dan licin, sedang putingnya tampak berdiri dengan
 tegangnya.
Sampai akhirnya tubuh Ika mengejang hebat. Pantatnya terangkat 
tinggi-tinggi. Matanya membeliak-¬beliak. Dan bibirnya yang sensual itu 
keluar jeritan hebat, “Mas Booo00oob..!” Dua jariku yang tertanam di 
dalam vagina Ika terasa dijepit oleh dindingnya dengan kuatnya. Seiring 
dengan keluar masuknya jariku dalam vaginanya, dan sela-sela celah 
antara tanganku dengan bibir memiawnya terpancarlah semprotan cairan 
vaginanya dengan kuatnya. Prut! Prut! Pruttt! Semprotan cairan tersebut 
sampai mencapai pergelangan tanganku.
Beberapa detik kemudian Ika terbaring lemas di atas karpet. Matanya 
memejam rapat. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang begitu 
hebat. Kocokan jari tanganku di vaginanya pun kuhentikan. Kubiarkan jari
 tertanam dalam vaginanya sampai jepitan dinding vaginanya terasa lemah.
 Setelah lemah. jari tangan kucabut dan memiawnya. Cairan vagina yang 
terkumpul di telapak tanganku pun kubersihkan dengan kertas tissue.
Ketegangan kontholku belum juga mau berkurang. Apalagi tubuh telanjang 
Ika yang terbaring diam di hadapanku itu benar-benar aduhai. seolah 
menantang diriku untuk membuktikan kejantananku pada tubuh mulusnya. Aku
 pun mulai menindih kembali tubuh Ika, sehingga kontholku yang masih di 
dalam celana dalam tergencet oleh perut bawahku dan perut bawahnya 
dengan enaknya. Sementara bibirku mengulum-kulum kembali bibir hangat 
Ika, sambil tanganku meremas-remas payudara dan mempermainkan putingnya.
 Ika kembali membuka mata dan mengimbangi serangan bibirku. Tubuhnya 
kembali menggelinjang-gelinjang karena menahan rasa geli dan ngilu di 
payudaranya.
Setelah puas melumat-lumat bibir. wajahku pun menyusuri leher Ika yang 
mulus dan harum hingga akhirnya mencapai belahan dadanya. Wajahku 
kemudian menggeluti belahan payudaranya yang berkulit lembut dan halus, 
sementara kedua tanganku meremas-remas kedua belah payudaranya. Segala 
kelembutan dan keharuman belahan dada itu kukecupi dengan bibirku. 
Segala keharuman yang terpancar dan belahan payudara itu kuhirup 
kuat-kuat dengan hidungku, seolah tidak rela apabila ada keharuman yang 
terlewatkan sedikitpun.
Kugesek-gesekkan memutar wajahku di belahan payudara itu. Kemudian 
bibirku bergerak ke atas bukit payudara sebelah kiri. Kuciumi bukit 
payudara yang membusung dengan gagahnya itu. Dan kumasukkan puting 
payudara di atasnya ke dalam mulutku. Kini aku menyedot-sedot puting 
payudara kiri Ika. Kumainkan puting di dalam mulutku itu dengan lidahku.
 Sedotan kadang kuperbesar ke puncak bukit payudara di sekitar puting 
yang berwarna coklat.
“Ah.. ah.. mas Bob.. geli.. geli ..,” mulut indah Ika mendesis-desis 
sambil menggeliatkan tubuh ke kiri-kanan. bagaikan desisan ular 
kelaparan yang sedang mencari mangsa.
Aku memperkuat sedotanku. Sementara tanganku meremas-remas payudara 
kanan Ika yang montok dan kenyal itu. Kadang remasan kuperkuat dan 
kuperkecil menuju puncak bukitnya, dan kuakhiri dengan tekanan-tekanan 
kecil jari telunjuk dan ibu jariku pada putingnya.
“Mas Bob.. hhh.. geli.. geli.. enak.. enak.. ngilu.. ngilu..”
Aku semakin gemas. Payudara aduhai Ika itu kumainkan secara bergantian, 
antara sebelah kiri dan sebelah kanan. Bukit payudara kadang kusedot 
besarnya-besarnya dengan tenaga isap sekuat-kuatnya, kadang yang kusedot
 hanya putingnya dan kucepit dengan gigi atas dan lidah. Belahan lain 
kadang kuremas dengan daerah tangkap sebesar-besarnya dengan remasan 
sekuat-kuatnya, kadang hanya kupijit-pijit dan kupelintir-pelintir kecil
 puting yang mencuat gagah di puncaknya.
“Ah.. mas Bob.. terus mas Bob.. terus.. hzzz.. ngilu.. ngilu..” Ika 
mendesis-desis keenakan. Hasratnya tampak sudah kembali tinggi. Matanya 
kadang terbeliak-beliak. Geliatan tubuhnya ke kanan-kini semakin sening 
fnekuensinya.
Sampai akhirnya Ika tidak kuat mehayani senangan-senangan keduaku. Dia 
dengan gerakan eepat memehorotkan celana dalamku hingga tunun ke paha. 
Aku memaklumi maksudnya, segera kulepas eelana dalamku. Jan-jari tangan 
kanan Ika yang mulus dan lembut kemudian menangkap kontholku yang sudah 
berdiri dengan gagahnya. Sejenak dia memperlihatkan rasa terkejut.
“Edan.. mas Bob, edan.. Kontholmu besar sekali.. Konthol pacar-pacarku 
dahulu dan juga konthol kak Dai tidak sampai sebesar ini Edan.. edan..,”
 ucapnya terkagum-kagum. Sambil membiankan mulut, wajah, dan tanganku 
terus memainkan dan menggeluti kedua belah payudaranya, jan-jari lentik 
tangan kanannya meremas¬ remas perlahan kontholku secara berirama, 
seolah berusaha mencari kehangatan dan kenikmatan di hatinya menahan 
kejantananku. Remasannya itu memperhebat vothase dan rasa nikmat pada 
batang kontholku.
“Mas Bob, kita main di atas kasur saja..,” ajak Ika dengan sinar mata yang sudah dikuasai nafsu birahi.
Aku pun membopong tubuh telanjang Ika ke ruang dalam, dan 
membaringkannya di atas tempat tidun pacarku. Ranjang pacarku ini amat 
pendek, dasan kasurnya hanya terangkat sekitar 6 centimeter dari lantai.
 Ketika kubopong. Ika tidak mau melepaskan tangannya dari leherku. 
Bahkan, begitu tubuhnya menyentuh kasur, tangannya menarik wajahku 
mendekat ke wajahnya. Tak ayal lagi, bibirnya yang pink menekan itu 
melumat bibirku dengan ganasnya. Aku pun tidak mau mengalah. Kulumat 
bibirnya dengan penuh nafsu yang menggelora, sementara tanganku mendekap
 tubuhnya dengan kuatnya. Kupeluk punggungnya yang halus mulus 
kuremas-remas dengan gemasnya.
Kemudian aku menindih tubuh Ika. Kontholku terjepit di antara pangkal 
pahanya yang mulus dan perut bawahku sendiri. Kehangatan kulit pahanya 
mengalir ke batang kontholku yang tegang dan keras. Bibirku kemudian 
melepaskan bibir sensual Ika. Kecupan bibirku pun turun. Kukecup dagu 
Ika yang bagus. Kukecup leher jenjang Ika yang memancarkan bau wangi dan
 segarnya parfum yang dia pakai. Kuciumi dan kugeluti leher indah itu 
dengan wajahku, sementara pantatku mulai bergerak aktif sehingga 
kontholku menekan dan menggesek-gesek paha Ika. Gesekan di kulit paha 
yang licin itu membuat batang kontholku bagai diplirit-plirit. Kepala 
kontholku merasa geli-geli enak oleh gesekan-gesekan paha Ika.
Puas menggeluti leher indah, wajahku pun turun ke buah dada montok Ika. 
Dengan gemas dan ganasnya aku membenamkan wajahku ke belahan dadanya, 
sementara kedua tanganku meraup kedua belah payudaranya dan menekannya 
ke arah wajahku. Keharuman payudaranya kuhirup sepuas-puasku. Belum puas
 dengan menyungsep ke belahan dadanya, wajahku kini menggesek-gesek 
memutar sehingga kedua gunung payudaranya tertekan-tekan oleh wajahku 
secara bergantian. Sungguh sedap sekali rasanya ketika hidungku 
menyentuh dan menghirup dalam-dalam daging payudara yang besar dan 
kenyal itu. Kemudian bibirku meraup puncak bukit payudara kiri Ika. 
Daerah payudara yang kecoklat-coklatan beserta putingnya yang pink 
kecoklat-coklatan itu pun masuk dalam mulutku. Kulahap ujung payudara 
dan putingnya itu dengan bernafsunya, tak ubahnya seperti bayi yang 
menetek susu setelah kelaparan selama seharian. Di dalam mulutku, puting
 itu kukulum-kulum dan kumainkan dengan lidahku.
“Mas Bob.. geli.. geli ..,” kata Ika kegelian.
Aku tidak perduli. Aku terus mengulum-kulum puncak bukit payudara Ika. 
Putingnya terasa di lidahku menjadi keras. Kemudian aku kembali melahap 
puncak bukit payudara itu sebesar-besarnya. Apa yang masuk dalam mulutku
 kusedot sekuat-kuatnya. Sementara payudara sebelah kanannya kuremas 
sekuat-kuatnya dengan tanganku. Hal tersebut kulakukan secara bergantian
 antara payudara kiri dan payudara kanan Ika. Sementara kontholku 
semakin menekan dan menggesek-gesek dengan beriramanya di kulit pahanya.
 Ika semakin menggelinjang-gelinjang dengan hebatnya.
“Mas Bob.. mas Bob.. ngilu.. ngilu.. hihhh.. nakal sekali tangan dan 
mulutmu.. Auw! Sssh.. ngilu.. ngilu..,” rintih Ika. Rintihannya itu 
justru semakin mengipasi api nafsuku. Api nafsuku semakin 
berkobar-kobar. Semakin ganas aku mengisap-isap dan meremas-remas 
payudara montoknya. Sementara kontholku berdenyut-denyut keenakan 
merasakan hangat dan licinnya paha Ika.
Akhirnya aku tidak sabar lagi. Kulepaskan payudara montok Ika dari 
gelutan mulut dan tanganku. Bibirku kini berpindah menciumi dagu dan 
lehernya, sementara tanganku membimbing kontholku untuk mencari liang 
memiawnya. Kuputar-putarkan dahulu kepala kontholku di kelebatan jembut 
di sekitar bibir memiaw Ika. Bulu-bulu jembut itu bagaikan menggelitiki 
kepala kontholku. Kepala kontholku pun kegelian. Geli tetapi enak.
“Mas Bob.. masukkan seluruhnya mas Bob.. masukkan seluruhnya.. Mas Bob 
belum pernah merasakan memiaw Mbak Dina kan? Mbak Dina orang kuno.. 
tidak mau merasakan konthol sebelum nikah. Padahal itu surga dunia.. 
bagai terhempas langit ke langit ketujuh. mas Bob..”
Jari-jari tangan Ika yang lentik meraih batang kontholku yang sudah amat tegang. Pahanya yang mulus itu dia buka agak lebar.
“Edan.. edan.. kontholmu besar dan keras sekali, mas Bob..,” katanya sambil mengarahkan kepala kontholku ke lobang memiawnya.
Sesaat kemudian kepala kontholku menyentuh bibir memiawnya yang sudah 
basah. Kemudian dengan perlahan-lahan dan sambil kugetarkan, konthol 
kutekankan masuk ke liang memiaw. Kini seluruh kepala kontholku pun 
terbenam di dalam memiaw. Daging hangat berlendir kini terasa mengulum 
kepala kontholku dengan enaknya.
Aku menghentikan gerak masuk kontholku.
“Mas Bob.. teruskan masuk, Bob.. Sssh.. enak.. jangan berhenti sampai 
situ saja..,” Ika protes atas tindakanku. Namun aku tidak perduli. 
Kubiarkan kontholku hanya masuk ke lobang memiawnya hanya sebatas 
kepalanya saja, namun kontholku kugetarkan dengan amplituda kecil. 
Sementara bibir dan hidungku dengan ganasnya menggeluti lehernya yang 
jenjang, lengan tangannya yang harum dan mulus, dari ketiaknya yang 
bersih dari bulu ketiak. Ika menggelinjang-gelinjang dengan tidak 
karuan.
“Sssh.. sssh.. enak.. enak.. geli.. geli, mas Bob. Geli.. Terus masuk, mas Bob..”
Bibirku mengulum kulit lengan tangannya dengan kuat-kuat. Sementara 
gerakan kukonsentrasikan pada pinggulku. Dan.. satu.. dua.. tiga! 
Kontholku kutusukkan sedalam-dalamnya ke dalam memiaw Ika dengan sangat 
cepat dan kuatnya. Plak! Pangkal pahaku beradu dengan pangkal pahanya 
yang mulus yang sedang dalam posisi agak membuka dengan kerasnya. 
Sementara kulit batang kontholku bagaikan diplirit oleh bibir dan daging
 lobang memiawnya yang sudah basah dengan kuatnya sampai menimbulkan 
bunyi: srrrt!
“Auwww!” pekik Ika.
Aku diam sesaat, membiarkan kontholku tertanam seluruhnya di dalam memiaw Ika tanpa bergerak sedikit pun.
“Sakit mas Bob.. Nakal sekali kamu.. nakal sekali kamu…” kata Ika sambil tangannya meremas punggungku dengan kerasnya.
Aku pun mulai menggerakkan kontholku keluar-masuk memiaw Ika. Aku tidak 
tahu, apakah kontholku yang berukuran panjang dan besar ataukah lubang 
memiaw Ika yang berukuran kecil. Yang saya tahu, seluruh bagian 
kontholku yang masuk memiawnya serasa dipijit-pijit dinding lobang 
memiawnya dengan agak kuatnya. Pijitan dinding memiaw itu memberi rasa 
hangat dan nikmat pada batang kontholku.
“Bagaimana Ika, sakit?” tanyaku
“Sssh.. enak sekali.. enak sekali.. Barangmu besar dan panjang sekali.. 
sampai-sampai menyumpal penuh seluruh penjuru lobang memiawku..,” jawab 
Ika.
Aku terus memompa memiaw Ika dengan kontholku perlahan-lahan. Payudara 
kenyalnya yang menempel di dadaku ikut terpilin-pilin oleh dadaku akibat
 gerakan memompa tadi. Kedua putingnya yang sudah mengeras seakan-akan 
mengkilik-kilik dadaku yang bidang. Kehangatan payudaranya yang montok 
itu mulai terasa mengalir ke dadaku. Kontholku serasa diremas-remas 
dengan berirama oleh otot-otot memiawnya sejalan dengan genjotanku 
tersebut. Terasa hangat dan enak sekali. Sementara setiap kali menusuk 
masuk kepala kontholku menyentuh suatu daging hangat di dalam memiaw 
Ika. Sentuhan tersebut serasa menggelitiki kepala konthol sehingga aku 
merasa sedikit kegelian. Geli-geli nikmat.
Kemudian aku mengambil kedua kakinya yang kuning langsat mulus dan 
mengangkatnya. Sambil menjaga agar kontholku tidak tercabut dari lobang 
memiawnya, aku mengambil posisi agak jongkok. Betis kanan Ika 
kutumpangkan di atas bahuku, sementara betis kirinya kudekatkan ke 
wajahku. Sambil terus mengocok memiawnya perlahan dengan kontholku, 
betis kirinya yang amat indah itu kuciumi dan kukecupi dengan gemasnya. 
Setelah puas dengan betis kiri, ganti betis kanannya yang kuciumi dan 
kugeluti, sementara betis kirinya kutumpangkan ke atas bahuku. Begitu 
hal tersebut kulakukan beberapa kali secara bergantian, sambil 
mempertahankan rasa nikmat di kontholku dengan mempertahankan gerakan 
maju-mundur perlahannya di memiaw Ika.
Setelah puas dengan cara tersebut, aku meletakkan kedua betisnya di 
bahuku, sementara kedua telapak tanganku meraup kedua belah payudaranya.
 Masih dengan kocokan konthol perlahan di memiawnya, tanganku 
meremas-remas payudara montok Ika. Kedua gumpalan daging kenyal itu 
kuremas kuat-kuat secara berirama. Kadang kedua putingnya kugencet dan 
kupelintir-pelintir secara perlahan. Puting itu semakin mengeras, dan 
bukit payudara itu semakin terasa kenyal di telapak tanganku. Ika pun 
merintih-rintih keenakan. Matanya merem-melek, dan alisnya 
mengimbanginya dengan sedikit gerakan tarikan ke atas dan ke bawah.
“Ah.. mas Bob, geli.. geli.. Tobat.. tobat.. Ngilu mas Bob, ngilu.. 
Sssh.. sssh.. terus mas Bob, terus.. Edan.. edan.. kontholmu membuat 
memiawku merasa enak sekali… Nanti jangan disemprotkan di luar memiaw, 
mas Bob. Nyemprot di dalam saja.. aku sedang tidak subur…”
Aku mulai mempercepat gerakan masuk-keluar kontholku di memiaw Ika.
“Ah-ah-ah.. benar, mas Bob. benar.. yang cepat.. Terus mas Bob, terus..”
Aku bagaikan diberi spirit oleh rintihan-rintihan Ika. tenagaku menjadi 
berlipat ganda. Kutingkatkan kecepatan keluar-masuk kontholku di memiaw 
Ika. Terus dan terus. Seluruh bagian kontholku serasa diremas¬-remas 
dengan cepatnya oleh daging-daging hangat di dalam memiaw Ika. Mata Ika 
menjadi merem-melek dengan cepat dan indahnya. Begitu juga diriku, 
mataku pun merem-melek dan mendesis-desis karena merasa keenakan yang 
luar biasa.
“Sssh.. sssh.. Ika.. enak sekali.. enak sekali memiawmu.. enak sekali memiawmu..”
“Ya mas Bob, aku juga merasa enak sekali.. terusss.. terus mas Bob, terusss..”
Aku meningkatkan lagi kecepatan keluar-masuk kontholku pada memiawnya. 
Kontholku terasa bagai diremas-remas dengan tidak karu-karuan.
“Mas Bob.. mas Bob.. edan mas Bob, edan.. sssh.. sssh.. Terus.. terus.. 
Saya hampir keluar nih mas Bob.. sedikit lagi.. kita keluar sama-sama ya
 Booob..,” Ika jadi mengoceh tanpa kendali.
Aku mengayuh terus. Aku belum merasa mau keluar. Namun aku harus 
membuatnya keluar duluan. Biar perempuan Sunda yang molek satu ini tahu 
bahwa lelaki Jawa itu perkasa. Biar dia mengakui kejantanan orang Jawa 
yang bernama mas Bobby. Sementara kontholku merasakan daging-daging 
hangat di dalam memiaw Ika bagaikan berdenyut dengan hebatnya.
“Mas Bob.. mas Bobby.. mas Bobby..,” rintih Ika. Telapak tangannya 
memegang kedua lengan tanganku seolah mencari pegangan di batang pohon 
karena takut jatuh ke bawah.
Ibarat pembalap, aku mengayuh sepeda balapku dengan semakin cepatnya. 
Bedanya, dibandingkan dengan pembalap aku lebih beruntung. Di dalam 
“mengayuh sepeda” aku merasakan keenakan yang luar biasa di sekujur 
kontholku. Sepedaku pun mempunyai daya tarik tersendiri karena 
mengeluarkan rintihan-rintihan keenakan yang tiada terkira.
“Mas Bob.. ah-ah-ah-ah-ah.. Enak mas Bob, enak.. Ah-ah-ah-ah-ah.. Mau 
keluar mas Bob.. mau keluar.. ah-ah-ah-ah-ah.. sekarang ke-ke-ke..”
Tiba-tiba kurasakan kontholku dijepit oleh dinding memiaw Ika dengan 
sangat kuatnya. Di dalam memiaw, kontholku merasa disemprot oleh cairan 
yang keluar dari memiaw Ika dengan cukup derasnya. Dan telapak tangan 
Ika meremas lengan tanganku dengan sangat kuatnya. Mulut sensual Ika pun
 berteriak tanpa kendali:
“..keluarrr..!”
Mata Ika membeliak-beliak. Sekejap tubuh Ika kurasakan mengejang.
Aku pun menghentikan genjotanku. Kontholku yang tegang luar biasa 
kubiarkan diam tertanam dalam memiaw Ika. Kontholku merasa hangat luar 
biasa karena terkena semprotan cairan memiaw Ika. Kulihat mata Ika 
kemudian memejam beberapa saat dalam menikmati puncak orgasmenya.
Setelah sekitar satu menit berlangsung, remasan tangannya pada lenganku 
perlahan-lahan mengendur. Kelopak matanya pun membuka, memandangi 
wajahku. Sementara jepitan dinding memiawnya pada kontholku 
berangsur-angsur melemah. walaupun kontholku masih tegang dan keras. 
Kedua kaki Ika lalu kuletakkan kembali di atas kasur dengan posisi agak 
membuka. Aku kembali menindih tubuh telanjang Ika dengan mempertahankan 
agar kontholku yang tertanam di dalam memiawnya tidak tercabut.
“Mas Bob.. kamu luar biasa.. kamu membawaku ke langit ke tujuh,” kata 
Ika dengan mimik wajah penuh kepuasan. “Kak Dai dan pacar-pacarku yang 
dulu tidak pernah membuat aku ke puncak orgasme seperti ml. Sejak Mbak 
Dina tinggal di sini, Ika suka membenarkan mas Bob saat berhubungan 
dengan Kak Dai.”
Aku senang mendengar pengakuan Ika itu. berarti selama aku tidak 
bertepuk sebelah tangan. Aku selalu membayangkan kemolekan tubuh Ika 
dalam masturbasiku, sementara dia juga membayangkan kugeluti dalam 
onaninya. Bagiku. Dina bagus dijadikan istri dan ibu anak-anakku kelak, 
namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuh aduhai Ika enak digeluti dan 
digenjot dengan penuh nafsu.
“Mas Bob… kamu seperti yang kubayangkan. Kamu jantan.. kamu perkasa.. 
dan kamu berhasil membawaku ke puncak orgasme. Luar biasa nikmatnya..”
Aku bangga mendengar ucapan Ika. Dadaku serasa mengembang. Dan bagai 
anak kecil yang suka pujian, aku ingin menunjukkan bahwa aku lebih 
perkasa dari dugaannya. Perempuan Sunda ini harus kewalahan menghadapi 
genjotanku. Perempuan Sunda ini harus mengakui kejantanan dan 
keperkasaanku. Kebetulan aku saat ini baru setengah perjalanan 
pendakianku di saat Ika sudah mencapai orgasmenya. Kontholku masih 
tegang di dalam memiawnya. Kontholku masih besar dan keras, yang harus 
menyemprotkan pelurunya agar kepalaku tidak pusing.
Aku kembali mendekap tubuh mulus Ika, yang di bawah sinar lampu kuning 
kulit tubuhnya tampak sangat mulus dan licin. Kontholku mulai bergerak 
keluar-masuk lagi di memiaw Ika, namun masih dengan gerakan perlahan. 
Dinding memiaw Ika secara berargsur-angsur terasa mulai meremas-remas 
kontholku. Terasa hangat dan enak. Namun sekarang gerakan kontholku 
lebih lancar dibandingkan dengan tadi. Pasti karena adanya cairan 
orgasme yang disemprotkan oleh memiaw Ika beberapa saat yang lalu.
“Ahhh.. mas Bob.. kau langsung memulainya lagi.. Sekarang giliranmu.. 
semprotkan air manimu ke dinding-dinding memiawku.. Sssh..,” Ika mulai 
mendesis-desis lagi.
Bibirku mulai memagut bibir merekah Ika yang amat sensual itu dan 
melumat-lumatnya dengan gemasnya. Sementara tangan kiriku ikut menyangga
 berat badanku, tangan kananku meremas-remas payudara montok Ika serta 
memijit-mijit putingnya, sesuai dengan mama gerak maju-mundur kontholku 
di memiawnya.
“Sssh.. sssh.. sssh.. enak mas Bob, enak.. Terus.. teruss.. terusss..,” 
desis bibir Ika di saat berhasil melepaskannya dari serbuan bibirku. 
Desisan itu bagaikan mengipasi gelora api birahiku.
Sambil kembali melumat bibir Ika dengan kuatnya, aku mempercepat 
genjotan kontholku di memiawnya. Pengaruh adanya cairan di dalam memiaw 
Ika, keluar-masuknya konthol pun diiringi oleh suara, “srrt-srret 
srrrt-srrret srrt-srret..” Mulut Ika di saat terbebas dari lumatan 
bibirku tidak henti-hentinya mengeluarkan rintih kenikmatan,
“Mas Bob.. ah.. mas Bob.. ah.. mas Bob.. hhb.. mas Bob.. ahh..”
Kontholku semakin tegang. Kulepaskan tangan kananku dari payudaranya. 
Kedua tanganku kini dari ketiak Ika menyusup ke bawah dan memeluk 
punggung mulusnya. Tangan Ika pun memeluk punggungku dan 
mengusap-usapnya. Aku pun memulai serangan dahsyatku. Keluar-masuknya 
kontholku ke dalam memiaw Ika sekarang berlangsung dengan cepat dan 
berirama. Setiap kali masuk, konthol kuhunjamkan keras-keras agar 
menusuk memiaw Ika sedalam-dalamnya. Dalam perjalanannya, batang 
kontholku bagai diremas dan dihentakkan kuat-kuat oleh dinding memiaw 
Ika. Sampai di langkah terdalam, mata Ika membeliak sambil bibirnya 
mengeluarkan seruan tertahan, “Ak..!” Sementara daging pangkal pahaku 
bagaikan menampar daging pangkal pahanya sampai berbunyi: plak! Di saat 
bergerak keluar memiaw, konthol kujaga agar kepalanya yang mengenakan 
helm tetap tertanam di lobang memiaw. Remasan dinding memiaw pada batang
 kontholku pada gerak keluar ini sedikit lebih lemah dibanding dengan 
gerak masuknya. Bibir memiaw yang mengulum batang kontholku pun sedikit 
ikut tertarik keluar, seolah tidak rela bila sampai ditinggal keluar 
oleh batang kontholku. Pada gerak keluar ini Bibir Ika mendesah, “Hhh..”
Aku terus menggenjot memiaw Ika dengan gerakan cepat dan 
menghentak-hentak. Remasan yang luar biasa kuat, hangat, dan enak sekali
 bekerja di kontholku. Tangan Ika meremas punggungku kuat-kuat di saat 
kontholku kuhunjam masuk sejauh-jauhnya ke lobang memiawnya. beradunya 
daging pangkal paha menimbulkan suara: Plak! Plak! Plak! Plak! 
Pergeseran antara kontholku dan memiaw Ika menimbulkan bunyi 
srottt-srrrt.. srottt-srrrt.. srottt-srrrtt.. Kedua nada tersebut 
diperdahsyat oleh pekikan-pekikan kecil yang merdu yang keluar dari 
bibir Ika:
“Ak! Uhh.. Ak! Hhh.. Ak! Hhh..”
Kontholku terasa empot-empotan luar biasa. Rasa hangat, geli, dan enak 
yang tiada tara membuatku tidak kuasa menahan pekikan-pekikan kecil:
“Ika.. Ika.. edan.. edan.. Enak sekali Ika.. memiawmu enak sekali.. 
memiawmu hangat sekali.. edan.. jepitan memiawmu enak sekali..”
“Mas Bob.. mas Bob.. terus mas Bob..” rintih Ika, “Enak mas Bob.. enaaak.. Ak! Ak! Ak! Hhh.. Ak! Hhh.. Ak! Hhh..”
Tiba-tiba rasa gatal menyelimuti segenap penjuru kontholku. Gatal yang 
enak sekali. Aku pun mengocokkan kontholku ke memiawnya dengan semakin 
cepat dan kerasnya. Setiap masuk ke dalam, kontholku berusaha menusuk 
lebih dalam lagi dan lebih cepat lagi dibandingkan langkah masuk 
sebelumnya. Rasa gatal dan rasa enak yang luar biasa di konthol pun 
semakin menghebat.
“Ika.. aku.. aku..” Karena menahan rasa nikmat dan gatal yang luar biasa
 aku tidak mampu menyelesaikan ucapanku yang memang sudah terbata-bata 
itu.
“Mas Bob.. mas Bob.. mas Bob! Ak-ak-ak.. Aku mau keluar lagi.. Ak-ak-ak.. aku ke-ke-ke..”
Tiba-tiba kontholku mengejang dan berdenyut dengan amat dahsyatnya. Aku 
tidak mampu lagi menahan rasa gatal yang sudah mencapai puncaknya. Namun
 pada saat itu juga tiba-tiba dinding memiaw Ika mencekik kuat sekali. 
Dengan cekikan yang kuat dan enak sekali itu. aku tidak mampu lagi 
menahan jebolnya bendungan dalam alat kelaminku.
Pruttt! Pruttt! Pruttt! Kepala kontholku terasa disemprot cairan memiaw 
Ika, bersamaan dengan pekikan Ika, “..keluarrrr..!” Tubuh Ika mengejang 
dengan mata membeliak-beliak.
“Ika..!” aku melenguh keras-keras sambil merengkuh tubuh Ika 
sekuat-kuatnya, seolah aku sedang berusaha rnenemukkan tulang-tulang 
punggungnya dalam kegemasan. Wajahku kubenamkan kuat-kuat di lehernya 
yang jenjang. Cairan spermaku pun tak terbendung lagi.
Crottt! Crott! Croat! Spermaku bersemburan dengan derasnya, menyemprot 
dinding memiaw Ika yang terdalam. Kontholku yang terbenam semua di dalam
 kehangatan memiaw Ika terasa berdenyut-denyut.
Beberapa saat lamanya aku dan Ika terdiam dalam keadaan berpelukan erat 
sekali, sampai-sampai dari alat kemaluan, perut, hingga ke payudaranya 
seolah terpateri erat dengan tubuh depanku. Aku menghabiskan sisa-sisa 
sperma dalam kontholku. Cret! Cret! Cret! Kontholku menyemprotkan lagi 
air mani yang masih tersisa ke dalam memiaw Ika. Kali ini semprotannya 
lebih lemah.
Perlahan-lahan tubuh Ika dan tubuhku pun mengendur kembali. Aku kemudian
 menciumi leher mulus Ika dengan lembutnya, sementara tangan Ika 
mengusap-usap punggungku dan mengelus-elus rambut kepalaku. Aku merasa 
puas sekali berhasil bermain seks dengan Ika. Pertama kali aku bermain 
seks, bidadari lawan mainku adalah perempuan Sunda yang bertubuh kenyal,
 berkulit kuning langsat mulus, berpayudara besar dan padat, berpinggang
 ramping, dan berpinggul besar serta aduhai. Tidak rugi air maniku 
diperas habis-habisan pada pengalaman pertama ini oleh orang semolek 
Ika.
“Mas Bob.. terima kasih mas Bob. Puas sekali saya. Indah sekali.. sungguh.. enak sekali,” kata Ika lirih.
Aku tidak memberi kata tanggapan. Sebagai jawaban, bibirnya yang indah 
itu kukecup mesra. Dalam keadaan tetap telanjang, kami berdekapan erat 
di atas tempat tidur pacarku. Dia meletakkan kepalanya di atas dadaku 
yang bidang, sedang tangannya melingkar ke badanku. Baru ketika jam 
dinding menunjukkan pukul 22:00, aku dan Ika berpakaian kembali. Ika 
sudah tahu kebiasaanku dalam mengapeli Dina, bahwa pukul 22:00 aku 
pulang ke tempat kost-ku sendiri.
Sebelum keluar kamar, aku mendekap erat tubuh Ika dan melumat-lumat bibirnya beberapa saat.
“Mas Bob.. kapan-kapan kita mengulangi lagi ya mas Bob.. Jangan 
khawatir, kita tanpa Ikatan. Ika akan selalu merahasiakan hal ini kepada
 siapapun, termasuk ke Kak Dai dan Mbak Dina. Ika puas sekali bercumbu 
dengan mas Bob,” begitu kata Ika.
Aku pun mengangguk tanda setuju. Siapa sih yang tidak mau diberi 
kenikmatan secara gratis dan tanpa ikatan? Akhirnya dia keluar dari 
kamar dan kembali masuk ke rumahnya lewat pintu samping. Lima menit 
kemudian aku baru pulang ke tempat kost-ku.

No comments:
Post a Comment