"Apa nanti nggak terlihat aneh?" tanya Kiki pada suaminya di telpon.
"Aku rasa tidak. Kamu kan sudah tahu siapa adikku. Jadi tidak harus sama aku untuk pergi ke sana kan?"
"Memang sih," jawab Kiki, sambil memainkan kabel telpon.
"Lagian dulu kamu juga sudah pernah melihat pembukaan pertandingannya
bareng mereka juga. Jadi sekarang sama saja kan kalau kamu pergi sendiri
untuk lihat finalnya."
"Ok, aku paham maksudmu, sayang. Meskipun dulu ada kamu, cuman? aku akan jadi satu-satunya wanita di sana."
"Oh, kamu salah. Dina kan ikut juga ke sana."
"Oh baguslah, sempurna." jawab Kiki, dengan nada suara sedikit tajam. Wanita genit itu, batin Kiki.
"Aku tahu, kamu dan Dina? agak kurang cocok, tapi sebenarnya dia wanita yang baik. Kamu hanya perlu lebih mengenal dia Ki."
"Hendra," Kiki hampir mulai memprotes, tapi ditahannya dirinya. Sudah
terlalu sering pembicaraan tentang hal ini berakhir dengan pertengkaran,
dan dia sudah memutuskan kali ini harus berakhir bahagia. "Kamu mungkin
benar. Setidaknya, lebih baik nonton finalnya bersama-sama dari pada
sendirian saja."
"Aku harus pergi, sayang. Selamat bersenang-senang!"
"Pasti." Kiki berusaha untuk terdengar gembira.
"I love you."
"I love you, too."
Hendra sudah pergi sangat lama, pikir Kiki. Bicara lewat telpon memang
bagus, tapi dia merindukan kehadirannya secara fisik. Dia rindu untuk
meringkuk dalam peluknya di Sabtu pagi, dan saling bergandengan tangan
sewaktu jalan sore. Semuanya, pikirnya, diayunkan langkahnya menuju
kamar mandi, dia merindukan seks. Mereka sudah menikah selama dua tahun
dan kehidupan seksual mereka tak pernah menunjukkan gejala menurun.
Paling tidak, tiga atau empat kali dalam seminggu. Sekali waktu, kadang
mereka membuat janji untuk berkencan di hotel selayaknya sepasang
kekasih, hanya sekedar untuk sebuah ?quickie? di sela waktu makan siang.
Dia bersihkan rambut sebahunya dengan shampoo, lalu mulai menyabuni
tubuh rampingnya. Erangan lirih mulai lepas dari mulutnya saat tangannya
menggapai payudaranya, lalu memilin putingnya. Hendra menyukai
payudaranya. Dia bilang kalau ukuran B-cupnya adalah ukuran yang tepat
untuk digenggam dan diremas. Kiki sendiri senang dengan bentuk
payudaranya karena sangat sensitive dan cepat membuatnya terangsang
begitu dipermainkan.
Tangannya yang sebelah kanan bergerak turun menelusuri perut kencangnya
dan mengarah pada gundukan vaginanya yang mungil dan rapat. Dia menyukai
rasa dari air hangat yang seakan tusukan jarum kecil pada permukaan
kulitnya saat dia mainkan jemari pada kelentitnya yang licin.
Membawa dirinya sendiri ke puncak ledakan orgasme, tubuh telanjangnya
merosot menyandar pada dinding kamar mandi, dan berusaha mengatur
nafasnya yang memburu. Kiki belum pernah melakukan masturbasi selama dua
tahun pernikahannya dengan Hendra. Sekarang hal ini dilakukannya dalam
kesehariannya, dan bahkan dia sedang mempertimbangkan untuk membeli
sebuah vibrator untuk mengisi hari-harinya yang sepi semenjak ditinggal
pergi Hendra ke luar kota. Meskipun memikirkan tentang alat itu masih
tetap membuat dirinya tersipu malu dan serasa bergolak perutnya, tapi
godaan itu semakin besar dan bertambah besar.
Diraihnya alat pencukur dan merampungkan ritual mandinya: shampoo, sabun, masturbasi dan mencukur.
Dia keringkan tubuh basahnya dengan handuk sambil mengamati pantulan
bayangannya di dalam cermin. Seperti kebanyakan gadis keturunan jawa,
kulit kuning kecoklatan membalut tubuhnya yang semakin menyiratkan daya
tarik seksualitas yang eksotis dan nakal tapi tetap anggun. Berjalan
dengan masih dalam keadaan telanjang menuju ke kamarnya, sambil
mempertimbangkan akan memakai pakaian apa untuk acara di rumah Johan
nanti.
Johan, yang adalah adiknya Hendra, seorang eksekutif muda yang terbilang
sukses, memiliki beberapa perusahaan yang penjualannya selalu dengan
rating yang bagus. Dan dia merupakan tipe pria yang menikmati hidup.
Memiliki rumah tinggal di pusat kota dan sebuah tempat peristirahatan
yang berada di puncak, yang sering dipakainya saat berakhir pekan dan
juga untuk acara kali ini. Sebuah tempat peristirahatan yang selalu
membuat kagum Kiki saat di sana, dengan area yang sangat luas dan bentuk
campuran antara gaya tradisional dan modern yang sangat nyaman untuk
beristirahat melepaskan diri dari kepenatan kota.
Rumah peristirahatan itu terletak di atas bukit, dan mempunyai sudut
pandang yang luas untuk menikmati indahnya pemandangan lembah di
bawahnya. Ini dikarenakan banyaknya bukaan dari pengaruh gaya
tradisionalnya. Tempat ini juga mempunyai sebuah lapangan tenis ? yang
hanya digunakan sesekali ? dan sebuah kolam renang besar ? yang paling
sering dipakainya setiap waktu. Dan yang paling membuat nyaman adalah
privasi dari tempat ini, tetangga terdekat terletak jauh di bawah lereng
bukit. Saat semua pintu yang terletak di sepanjang ruang tengah hingga
kolam renang, akan dapat membuat kita dapat menghirup segarnya udara
perbukitan ini.
Sebuah TV layar datar berukuran besar terletak di ruang tengah yang mana
itu akan dipakai untuk menyaksikan pertandingan final nanti. Johan
sebenarnya tidak begitu peduli tim mana yang akan menang, karena tim
jagoannya sudah tersisih sebelum final.
Semua tamunya sudah hadir di sini, kecuali kakak iparnya, Kiki. Jimy,
Dany, dan Dina adalah teman masa kecilnya. Ahmad merupakan rekan
bisnisnya yang kemudian jadi sahabat karibnya, yang sekarang juga akrab
dengan Jimy dan Dany dan Dina. Kelimanya menjadi sahabat karib tak
terpisahkan dalam lima tahun terakhir, dan Johan merasa senang bisa
menyaksikan pertandingan final nanti bersama mereka semua.
"Kapan nih isteri Hendra yang seksi itu datang?" tanya Jimy yang sudah
agak mabuk. Sebagai seorang keturunan Chinese, membuat wajahnya sangat
bersemu merah, dengan sangat cepat setiap kali dia mengkonsumsi alkohol
meskipun sedikit kadarnya. Dan dia selalu berubah dari seorang ahli
komputer yang pemalu menjadi penggila pesta yang liar.
"Harusnya Kiki tiba sebentar lagi. Dia menelpon satu setengah jam yang
lalu dan bilang kalau dia sudah berangkat," jawab Johan, sambil membalik
daging panggangnya. Ini sudah hampir pukul empat sore. Pertandingannya
sendiri mulai pukul lima nanti, tapi Jimy sudah tak sabar untuk mulai
minum duluan.
"Yeah, aku harap dia datang sebentar lagi. Aku mulai bosan lihat Dina!" jawab Jimmy menggerutu.
"Hey!" Dina berteriak protes dari dalam. "Aku dengar itu!" dia melompat
bangkit dari sofa dan berjalan keluar. "Jadi, kamu pikir aku membosankan
untuk dilihat ya?" tanyanya dengan mulut cemberut.
Dina berpose layaknya seorang model, tangan di pinggang, berpose untk
para pria. Sebenarnya dia bukannya tipe yang membosankan untuk
dipandangi. Sama sekali bukan. Rambut berombak panjang sepinggang di cat
kecoklatan, tubuh montok menggiurkan tapi jauh dari kata gemuk, dan
kulit putih yang membungkus tubuh indahnya. Jika kamu melihat majalah
model, maka akan kamu temukan gambaran sosok Dina di sana. Kegemarannya
membentuk tubuh di pusat kebugaran membuat tubuhnya selalu tepat saat
memakai berbagai macam busana, dari busana resmi hingga bikini. Hari
ini, dia kenakan sebuah kaos ketat dan celana jeans selutut yang juga
ketat, memeperlihatkan lekuk tubuhnya yang begitu mengundang selera pria
untuk mencicipinya.
Johan selalu suka pada bentuk pantat Dina. Sebenarnya, semua orang suka.
Sangat ideal, kencang dan merupakan sebuah bentuk yang diimpikan semua
wanita. Dina juga menyukainya, dia selalu memakai busana yang bisa
memperlihatkan betapa seksinya bongkahan pantatnya, dia selalu berusaha
mempertunjukkan tampilan terseksinya. Tapi berpose seperti itu di
hadapan para pria sebenarnya membuatnya jengah. Walaupun dia menyukai
perhatian pria pada tubuhnya, tapi orang-orang ini adalah sahabat
terdekatnya. Dan mereka hampir seperti keluarga saja.
Tak mau ambil pusing, diputuskannya untuk berjalan melewati mereka dan
duduk di tepian kolam renang, memasukkan kaki indahnya ke dalam air yang
dingin. Dia hanya senang menggoda saja bukan seorang wanita jalang.
Bel di pintu berbunyi dan Dany pergi untuk membukakan, itu pasti Kiki, isteri Hendra yang sangat menarik.
Kiki masuk sambil membawa satu renteng bir kaleng, dan Dany seperti
terpaku menatapnya. Kiki mengenakan gaun selutut warna putih yang
terikat di balik lehernya sebagai penyangga. Rambut sebahunya di kuncir
ekor kuda. Dia memakai sandal warna putih yang memperlihatkan kukunya
yang terawat baik dan diwarnai merah muda senada dengan kuku jari
tangannya.
Kiki menelan ludah, terlihat keadaan Danny yang agak mabuk membuatnya
lupa akan waktu. Dia seakan mematung menatap sekujur tubuh Kiki tak
berkedip. Sudah diputuskannya sejak dulu dia akan tidur dengan wanita
ini, meskipun ada Hendra atau tidak.
"Silahkan masuk, tuan putri."
Kiki merasa jengah dengan cara memandang Dany yang tanpa tedeng
aling-aling pada tubuhnya. Jikalau dilain waktu mungkin Kiki akan merasa
dilecehkan dengan cara tatap Dany, tapi dengan keadaan gairahnya yang
masih menggantung selama ditinggal Hendra seperti ini membuatnya melirik
sekilas ke arah Dany. Tampan juga, nilainya. Tinggi, berkulit sawo
matang, dan penuh percaya diri, Kiki tahu kalau Dany sangat cerdas dan
kecerdasannya itu selalu digunakan untuk menaklukan wanita. Hampir pada
setiap kesempatan, dia selalu menggodanya. Kiki sudah pernah
membicarakan hal ini dengan Hendra, tapi reaksinya hanya tertawa saja
dan, "Anak muda memang begitu." Hendra, yang hanya tiga tahun lebih tua
dibandingkan Dany yang berusia 28 tahun selalu menyebut Johan dan Dany
beserta seluruh teman-tamannya dengan sebutan anak muda.
Kiki, yang juga berusia 28 tahun, sadar jika dia harus berhati-hati saat berada di dekat pria pecinta seni ini.
"Kamu kenal Ahmad, kan?" Tanya Dany, saat berjalan di belakang Kiki
menuju ke ruang tengah. Kiki bisa merasakan mata Dany tak pernah lepas
dari pantatnya.
"Ya, kami sudah pernah ketemu," jawab Kiki. Ahmad sudah menarik simpati
Kiki. Pria keturunan timur tengah yang tak banyak bicara, tampan dan
berotak encer, hanya dialah yang tak menunjukkan ketertarikan seksual
vulgar terhadap dirinya. Ahmad sangat sopan dan Kiki berharap perilaku
ini bisa menular pada para sahabatnya yang ?liar? ini.
Kiki melihat Johan dan Jimy sedang berada di beranda belakang. "Mau
ditaruh di mana ini?" tanya Kiki, mengangkat bir kaleng yang di bawanya.
"Si cantik sudah datang!" komentar Jimy yang setengah mabuk terlontar sebelum Johan mampu menjawab.
"Hei, tenang sedikit," bisik Johan pada temannya. "Jimy, kenapa nggak
kamu taruh birnya dalam almari es dan sekalian ambilkan pizzanya juga."
Mata Jimy seakan dilem pada tubuh wanita bersuami ini saat berjalan melewatinya menuju ke dalam rumah.
Johan minta maaf atas kelakuan kasar teman-tamannya. Kakaknya memang
pria beruntung, pikirnya untuk yang entah keberapa kalinya. Dia coba
untuk tidak membiarkan matanya terlalu lama memandang tubuh indah kakak
iparnya ini, atau bahkan membayangkan seperti apa bentuk tubuhnya saat
telanjang.
"Aku senang akhirnya kakak mau datang juga," katanya. Untuk sesuatu alas
an, dia merasa sedikit malu. Jarang sekali dia pergi keluar dengan Kiki
tanpa Hendra, tapi sejujurnya dia sangat menikmati keberadaannya tanpa
kakaknya. Dan kebetulan juga Kiki lebih gila dengan pertandingan ini
dibandingkan kakaknya.
Kiki tersenyum pada Johan, mulai merasa nyaman dan percaya diri, lalu
bilang, "Aku senang melihat pertandingan rame-rame. Meskipun harus
dengan pria-pria tidak karuan seperti kalian."
"Ada wanitanya juga lho," kata Dina, sambil mengangkat tangannya tanpa
memalingkan muka, dia masih tetap berada di tepian kolam renang, asik
dengan lamunannya sendiri.
No comments:
Post a Comment