Kisah ini adalah kisah nyata yang dialami oleh teman penulis, atas
izinnya ingin berbagi rasa dengan apa yang dialami olehnya kepada
rekan-rekan DS dan tentu saja ditambahi bumbu-bumbu penyedap, agar kisah
ini bisa dinikmati. Nama yang ada bukanlah nama sebenarnya [Red :
sengaja disembunyikan].
Pada awal ceritaku, aku telah menjelaskan bahwa beberapa cowok banyak
yang mencoba untuk mendekatiku, namun pada giliran aku menanyakan
keseriusannya mereka langsung mengambil jarak, aku tahu semua itu
dikarenakan kemiskinan keluargaku [Red : tidak miskin-miskin amat
sih...]. Dari sekian banyak cowok yang jauh namun dekat itu ada seorang
cowok yang dikampungku yang teramat lugu, namun baik hati. Sebut saja
namanya Fahri yang sekarang telah resmi menjadi cowokku. Sebenarnya aku
merasa kurang mencintai Fahri, namun mengingat kebaikan dan keluguannya
itu, ditambah lagi aku menyadari keberadaan diriku yang telah bodoh
memerawani diri sendiri itu, akhirnya mencoba untuk membalas
keseriusannya pada diriku.
Tak banyak hal yang kami lakukan pada saat berpacaran karena keluguan
Fahri, namun pada akhirnya atas persetujuan orang tua Fahri dan Ibuku
serta persetujuan om pram selaku waliku akupun menerima Fahri menjadi
suamiku. Maka resmilah mulai detik itu aku menjadi istri Fahri, masalah
cinta, nantinya juga akan tumbuh sendiri, demikian tekadku saat itu.
Fahri memang seorang lelaki yang penuh pengertian. Selama menikah
dengannya sampai pada usia pernikahan kami yang telah berjalan 5 tahun,
belum pernah ia berlaku kasar padaku. Tutur katanya santun dan dapat
menghargai istri. Hanya setelah menikah sekian lama aku belum menimang
anak. Berbagai usaha telah dilakukan, diantaranya meminta tolong kepada
orang pintar dan ke dokter. Terakhir sperma Fahri diperiksa, ternyata
hasilnya memenag seperti yang tak diharapkan.
Ketika di laborat hasil pemeriksaan kuubah. Aku telah berlaku tidak
jujur, karena aku tidak ingin memebuatnya putus asa dan rendah diri.
Hasil yang menyatakan kemandulannya kuubah menjadi normal. Ini semua
karena benih-benih cinta telah mulai tumbuh dalam diriku ditengah-tengah
rasa ketidakpuasan terhadap kemampuan suamiku. Namun semua dapat
kutekan, bagiku biarlah masalah anak menjadi nomor dua, kalaupun aku
sampai tidak memiliki anak aku dapat mengambil anak adikku yang saat itu
juga telah berkeluarga.
Untuk mengisi ketidak pastian kehidupan keluargaku, aku mencoba untuk
menyibukkan diri dengan melamar pekerjaan diberbagai Instansi Swasta
maupun Pemerintah. Aku pernah bekerja disebuah Perusahaan Swasta sebagai
salesgirl suatu Produk Kesehatan. Pengalaman bekerja pada perusahaan
tersebut memang sangat berat, terlebih penghasilanku terbatas pada hasil
usaha penjualan produk yang tawarkan pada para konsumen hasilnya berupa
prosentase dari hasil penjualan produk. Jujur saja memang aku tak
berharap banyak dari penghasilanku, toh suamiku sudah memberikan lebih
dari sekedar cukup untuk mencukupi kebutuhan ekonomiku, hanya saja rasa
sepi membuatku ingin mencari pengalaman-pengalaman bekerja. Hasilnya
persaingan diantara para Sales teramat ketat untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik dan mau tidak mau aku terbawa situasi persaingan
tersebut yang membawaku melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan
simpati dari para konsumen. Salah satu usaha yang telah dilakukan oleh
rekan-rekanku untuk mendapatkan simpati dari konsumen adalah terkadang
mereka harus merayu bahkan sampai pada memberikan tubuhnya pada beberapa
konsumen yang dinilai cukup mempunyai andil dalam pembelian
produk-produk kami. Semula aku memang tidak ambil pusing dengan
cara-cara yang telah ditempuh mereka, namun ketika perusahaan menuntutku
agar lebih banyak memasarkan produk, ditambah lagi aku menginginkan
pengalaman-pengalaman yang lain yang kunilai lebih ekstrim dari
kepribadianku sendiri pada akhirnya aku mencoba juga
pengalaman-pengalaman merayu para konsumenku. Cukup hanya merayu
demikian tekadku pada saat itu, hanya saja waktu mengatakan lain ketika
aku harus tetap menjaga salah seorang konsumenku yang cukup banyak
membeli produk-produk yang kutawarkan.
Seperti pada satu saat aku berjanji bertemu Heru, salah satu konsumenku yang cukup banyak membeli produk-produk yang kubawa.
"Kok ketemuannya disini sih pak...", tanyaku, ketika aku telah berada
pada salah satu hotel dikotaku dan langsung menemuinya disalah kamar
hotel tersebut, dan langsung diterima oleh heru.
Aku sadari pada akhirnya aku akan memberikan sebuah pelayanan khusus
pada Heru, untuk menjaga konsumenku tidak lepas dariku. Lagi pula
pernikahanku dengan Fahri yang begitu-begitu saja lambat laun akan
merubah sikapku ingin berbuat lebih. Aku ingin mendapatkan suatu
kepuasan lain yang memang belum pernah kurasakan pada pernikahanku
dengan Fahri.
"Nih produk yang bapak pesan kemarin..., ini yang terbaik loh...",
kataku langsung saja nyerocos mempromosikan keunggulan produk yang
kutawarkan, setelah aku melepaskan pinggulku pada pinggiran ranjang yang
ada pada kamar hotel tersebut. [Red : didalama kamar tersebut ada 2
buah bangku, tetapi untuk dapat mendudukinya harus melewati ranjang
besar].
"oh yah, thanks..., manjur engga ci...", balas pak heru seraya menerima bungkusan botol berisi pil-pil hasil produk perusahaan.
"dijamin deh pak...", jawabku pula, masih mencoba bersikap mempromosikan produk yang kubawa.
Sesaat sepertinya lelaki setengah baya yang berusia berkisar 50 tahunan
itu tidak terpengaruh dengan promosiku. Dia malah ikut duduk disebelahku
dipinggiran ranjang yang tersedia.
"kali ini saya ingin bukti ci, bolehkan...", ujarnya langsung memegang
jemariku yang tadi kugunakan untuk menyerahkan botol produk perusahaan.
"Buktiin dengan siapa pak, masak dengan saya sih...", jawabku pula
mencoba menarik secara lembut jemariku yang telah digenggang oleh Pak
Heru.
Lelaki yang masih kelihatan tegap diusianya yang setengah baya tidak
menghiraukan ucapanku. Dia hanya tersenyum, bahkan semakin merapatkan
duduknya denganku sambil terus menggenggam dan meremas-remas jemariku.
"yah dengan kamu dong, kan kalau hasilnya engga bagus saya bisa langsung
komplain...", ucapnya kemudian perlahan, namun kini kurasakan wajahnya
semakin mendekat pada telingaku, hingga aroma hangat hembusan nafasnya
telah menyentuh cuping telingaku. Perasaanku berkobar diantara penolakan
dan keinginan yang mendalam ingin merasakan suatu hal yang lebih dari
itu, bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi lebih pada tindakannya.
"Masak komplainnya dengan saya pak..., sayakan hanya menjajakan saja...,
produknya yang bikin kan perusahaan...", jawabku terputus-putus,
sebagai tanda bahwa sebenarnya aku telah ditaklukan oleh sebuah
kerinduan sentuhan lelaki perkasa seperti pak heru ini. Namun secara
etika aku harus mempu menekan hasrat dan keinginanku dengan sebuah
penolakan halus.
Sadar atau tidak akan ucapanku, yang jelas lelaki tersebut semakin
merapatkan bibirnya pada telingaku, dan kini kurasakan sentuhan-sentuhan
lembut hangat dan basah kurasakan pada rongga telingaku, yang membuatku
tak mampu untuk berfikir secara jernih. Tapi, apakah hanya segitu saja
aku harus pasrah menerimanya yang ujung-ujungnya adalah persetubuhan?.
Tidak, minimal aku harus mencoba menjaga image bahwa wanita seperti
diriku sangat mudah untuk dilumpuhkan.
"jangan pak..., nanti ketahuan dengan istri bapak...", ucapku sekenanya.
Aku memang tak kuasa menekan emosi dan gairahku yang memang sangat
membutuhkan sensasi lain selain yang telah diberikan oleh suamiku.
Goblok, rupanya ucapanku yang sekenanya tadi malah menghentikan usaha
lelaki setengah baya itu. Lelaki itu kini malah menatapku dan tatapannya
seperti memelas namun tajam menusuk-nusuk relung hatiku. Aku tak tahu
bagaimana perasaanku saat itu, yang jelas tatapan itu telah memberikan
makna dalam hatiku yang menimbulkan tumbuhnya rasa simpati padanya
melalui tatapannya itu.
"Saya duda ci, telah sekian tahun saya menduda dan baru kali ini saya
menemukan wanita seelok dan secantik kamu..., sayangnya kamu telah
bersuami...", jawabnya getir saat itu.
Aku tak mampu membalas tatapannya. Kini kurasakan entah rasa simpati
atau hasrat yang berkecamuk dalam hatiku. Yang kutahu aku merasa
bersalah telah mengucapkan kalimat-kalimat yang membuatnya mungkin
kembali mengenang keluarganya.
"maafin cici kalau kata-kata cici tadi menyinggung hati pak...", ucapku
sambil menundukkan kepalaku memohonkan permintaan maaf padanya.
Kini kurasakan lelaki itu berdiri dan beranjak menghadapiku yang masih
terduduk ditepian ranjang. Kurasakan kedua jemari tangan lelaki itu
telah memegang kedua pundakku.
"Engga apa-apa ci..., ci, tadi sebenarnya saya ingin memaksakan
keinginan saya pada kamu..., tapi ucapan kamu menyadarkan saya bahwa
kamu pasti sudah bersuami...", ucapnya. Dan sesaat kulihat lelaki itu
menghela nafas. Didalam hati hampir saja memprotes dirinya yang sudah
sempat membuatku bergetar namun harus menyudahi hal ini hanya karena
kesadarannya timbul.
"aku menginginkan ketulusan kamu dalam hal ini..., kalau kamu engga mau
aku tidak akan memaksa..., kamu lain dari wanita-wanita yang pernah
kutemui ci...", ucapnya lagi.
Naluriku yang tadi sempat bergetar ditambah lagi ada rasa keinginan
untuk mendapat sensasi baru dalam kehidupanku, mengalahkan etika
berfikirku. Sebuah ungkapan baru kini muncul dalam desakan nafsu dan
hasratku yaitu ingin membantunya mengusir kesepiannya itu.
"saya siap pak..., saya siap membantu mengisi kesepian bapak...", ucapku
hampir berbisik. Rupanya benar adanya naluri berfikirku telah
dikalahkan oleh hasrat kerinduan untuk mendapat sensasi, oleh sebab itu
kata-kataku begitu saja meluncur namun masih disamarkan dengan kata-kata
membantunya.
Entah bagaimana awalnya, ketika kurasakan Pak Heru membimbingku berdiri
menghadapinya dan langsung mendekatkan wajahnya hingga kini kurasakan
bibirnya telah menyatu dalam bibirku. Sesaat kurasakan lidahnya telah
bermain-main dengan lincahnya pada rongga-rongga mulutku. Aku sendiri
tak tahu bagaimana awalnya pula hingga tanda kusadari aku turut membalas
guliran-guliran lincah lidahnya yang mermain-main didalam rongga
mulutku dengan mempermainkan lidahku didalam rongga-rongga mulutnya.
Terkadang lidah kami bertautan dan saling bertukar cairan yang
terus-menerus membasahi lidah kami.
Kurasakan sesaat lelaki itu menjaga jarak pertemuan bibir dan mulut kami.
"kamu yakin ci...?", tanya lelaki itu.
Benar-benar goblok lelaki setengah baya ini. Jelas-jelas aku sudah
membalas ciuman dan putaran-putaran lidahnya didalam mulutku, eh..., dia
malah nanya lagi. Namun terbersit sebuah penghargaan padanya yang
membuatku menilai bahwa dirinya berusaha untuk menjadi seorang lelaki
yang lembut namun gentlement.
Namun bukan sebuah kelembutan dan gentlement yang kuperlukan saat itu.
Yang kuperlukan adalah suatu penuntasan hasratku yang semakin bergelora
menerima tarik ulur keinginannya itu. Berdasarkan pada hasratku aku
ingin menunjukkan padanya keinginanku, maka agak kodorong dirinya mundur
kebelakang hingga menjauhi tepian ranjang beberapa tindak. Perlahan aku
beranjak menurunkan diriku hingga berdiri dengan keadaan bertumpu pada
kedua dengkulku, sehingga secara pasti kini wajahku berada pada tubuh
bagian bawahnya.
Hasratku memang telah mengalahkan segala keraguan yang sempat tumbuh
pada diriku. Kini jemariku tengah bermain pada ikat pinggang lelaki
tersebut dan terus melepaskan kancing Jeans serta retsluiting yang
dikenakannya. Menyadari tindakanku pada dirinya lelaki itu membantuku
melepaskan celana jeans-nya kemudian disingkirkan oleh kakinya
kebelakang dirinya setelah terlepas dari tubuhnya. Tak hanya sampai
disitu keingin tahuanku pada hal lain membuatku melorotkan CD putih yang
masih tertinggal pada tubuh bagian bawahnya, hingga terpampanglah
kelelakian lelaki itu tepat dihadapanku.
Sesaat aku tertegun dan menatap nanar pada penis yang dimilkinya itu.
Sesuai dengan keberadaan dirinya yang putih bersih, penis yang
dimilikinyapun putih dengan ujungnya yang kemerah-merahan, sementara
ukurannya mungkin tergolong standar milik produk dalam negeri. Mengingat
keadaan dirinya yang berusia lebih dari 50 tahun-an, memang penis itu
masih belum mengeras. Namun aku meyakini bahwa apa yang dimilki oleh
lelaki tersebut tidak berbeda dengan yang dimilki oleh Fahri suamiku,
kalau boleh kukatakan lebih besar milik Fahri.
Ketertegunanku atau bisa kukatakan membanding-bandingkan dengan apa yang
dimilki oleh Fahri suamiku itu tak berlangsung lama. Aku hanya berharap
semoga kekuatannya mampu menuntaskan hasratku, itu saja. Dengan lembut
aku mencoba mengusap batang kelelakian itu, menggenggamnya, kemudian
kucoba untuk mendekatkan wajahku dan menyentuhkan bibirku pada ujung
kemaluannya. Rupanya teknik ini bermanfaat, setelah kurasakan sedikit
demi sedikit alat pemuas birahi milki lelaki itu bergerak mengeras dan
semakin mengeras hingga pada batas ketegangannya yang maksimal.
Birahiku semakin semakin bergelora, tak ayal lagi kutepiskan segala
keraguan yang ada hingga pada akhirnya kulumati penis tersebut,
kukocok-kocok batang penis itu dengan jemariku dan kumaju mundurkan
wajahku hingga membuat penis lelaki tersebut keluar masuk pada rongga
mulutku. Hal ini kulakukan hingga beberapa saat hingga kusadari bahwa
lelaki ini mestinya memilki daya tahan tubuh yang prima, terbukti dengan
dengan usahaku pada penisnya yang sesekali kutingkahi dengan menjilati
ujung penisnya, bahkan pada kedua bola kelenjar miliknya tak luput
menjadi object lumatan, jilatan dan kulumanku. Namun sekian lama usahaku
untuk memberikan kenikmatan padanya seakan-akan tidak memberikan reaksi
atau tanda-tanda penis itu mengeluarkan isinya. Justru sebaliknya aku
yang menjadi semakin bergairah menikmati penis lelaki itu, seakan aku
tak ingin melepaskannya hingga akhirnya aku sendiri harus merasakan
suatu kegatalan yang sangat mengganggu pada areal vaginaku. Birahiku
semakin bergelora jika mungkin bisa kukatakan semakin beringas dalam
mempermainkan semua benda-benda bergerak dan hidup yang berada pada
pangkal selangkangan lelaki tersebut. Ini membuatku semakin menikmatinya
untuk mengulum, menjilati, mengocoknya baik dengan jemariku maupun
dengan mulutku dan semua kemampuan yang kumiliki dari hasil pernikahanku
dengan Fahri telah kukeluarkan. Dan hasilnya :
"aduh..., nikmat cih..., belum pernah kurasakan permainan oral senikmat
ini...", ucap pak heru dengan mendesah-desah yang mulai merasakan
kenikmatannya.
Tidak kugubris ucapannya itu apakah sekedar gombal dalam memujiku atau
memang lelaki itu benar-benar baru kali ini menerima kenikmatan lain
dari yang lain. Yang kusadari adalah aku semakin tak kuasa untuk menahan
rasa gatal pada tubuhku terutama pada vaginaku utnuk segera menemukan
penyembuhannya. Untuk sekedar menghilangkan rasa gatal tersebut tak
kusadari aku telah menyusupkan jemariku kedalam rok seragam perusahaanku
dan terus menuju tepian celana dalamku yang kusingkap untuk dapat
menelusupkan jemariku pada vaginaku. Sambil terus mengulum penis lelaki
itu kugosok-gosok jemari telunjukku pada klitorisku yang kurasakan
semakin menebal dan mengeras pertanda aku semakin merasakan gairah.
Sadar atau tidak akan perbuatanku yang memang telah diambang batas
birahiku, Lelaki setengah baya yang penisnya telah kujadikan object
teknik oral itu, kini menarik bahuku agar berdiri mensejajarkannya.
Kuikuti keinginannya itu, dan kini kurasakan jemarinya berusaha
melepaskan kancing-kancing blousku. Aku menyadari keinginannya, kubantu
untuk menelanjangi diriku sendiri dan tak lama kemudian kuketahui aku
telah berada dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benagpun melekat pada
tubuhku. Rupanya saat aku mengerjai penisnya, lelaki itu menyempatkan
dirinya untuk melepaskan kemeja yang dikenakannya hingga pada akhirnya
kami dalam keadaan telanjang bulat-bulat.
Suatu sentuhan dan remasan lembut namun mampu mengegatrkan sukmaku, saat
kurasakan jemari lelaki itu meremas-remas dan mempermaikan buah dadaku
yang masih putih bersih dan kini dalam keaadaan mengeras. Namun sesaat,
tahu-tahu aku telah berada dalam pelukannya. Bibirnya melumat bibirku
dengan nafsu yang berkobar-kobar. Ditingkahi dengan balasan atas lumatan
birinya dan penyatuan tubuh kami yang sama-sama telanjang itu, lelaki
itu membimbingku untuk merebahkan diriku keatas ranjang yang berada
dibelakangku. Lelaki itu kembali meremas kedua buah dadaku dengan
gemasnya, kemudian kurasakan suatu hisapan yang benar membuatku nikmat
pada buah dadaku. Rupanya lelaki itu tengah mengisapi salah satu buah
dadaku sementara jemari yang lainnya meremasi buah dadaku yang satunya
lagi. Demikian secara bergaintian lelaki itu menghisapi dan meremasi
kedua buah dadaku, sesekali lelaki itu menjilati dan mempermainkan
puting susuku yang masih berwarna kemerahan agak kecoklatan dengan
lidahnya.
"ahhh..., geli pak..., tapi enak...ahhh", desahku yang tak tahu lagi
apakah ini rasa geli atau nikmat pada buah dadaku. Yang jelas kurasakan
semua sentuhan mulutnya dan remasan jemarinya pada kedua bukit kembarku
membuat suatu kenikmatan tersendiri yang selama ini jarang kurasakan.
Fahri suamiku sangat konvensional dalam berhubungan badan, jarang sekali
dia memberikan sentuhan pada kedua payudaraku. Biasanya dia selalu pada
tujuannya saja tanpa memikirkan bahwa wanita menginginkan
sentuhan-sentuhan lain atau boleh dikatan suatu kekasaran.
Kurasakan sentuhan halus, yang membuatku bergelinjang kurasakan saat
jemari lelaki itu bergerak menelusuri tubuhku, keperutku dan terus pada
areal sensisitif pada tubuhku. Jemarinya terus merabai dan mulai
membelai bagian bukit sensitifku yang ditumbuhi bulu-bulu halus
disekitar selankanganku. Didorong oleh sensasi keindahan dan kenikmatan
aku melebarkan kedua pangkal pahaku seakan memberikan jalan bagi jemari
lelaki itu agar terus menyeruak dan memperlakukan vaginaku yang sudah
terasa gatal dan secara naluriah mulai mengeluarkan cairan-cairan
kenikmatan, sekehendak hatinya. Ah..., daerah kenikmatan yang selama ini
hanya kuberikan pada Fahri suamiku kini telah tersentuh oleh jemari
lain yang bukan suamiku. Lelaki itu bukanlah seorang yang bodoh dalam
mempermainkan diriku, kini kurasakan jemarinya menyeruak masuk membelah
bibir-bibir vaginaku dan terus meluncur serta mengorek dan menggelitiku
dengan merabai bibir-bibir bagian dalam vaginaku. Sesekali jemarinya
terus menekan-nekan dan beser-geser halus merabai klitorisku yang
semakin mengeras.
"ohhh..., Pak...", desahku tak tahu harus mengatakan apa, yang kurasakan
adalah kenikmatan tinggi dan selalu menimbulkan getaran-getaran halus
hingga vaginaku tak ayal lagi merembesi cairan-cairan kenikmatan.
Terlebih ketika kurasakan lelaki setengah baya itu mulai bergerak halus
menggeserkan wajahnya pada tubuhku dan menepatinya pada pangkal
selangkanganku.
Hembusan nafasnya yang hangat kurasakan pada pangkal selangkanganku yang
mulai berdenyut ingin menerima sentuhan-sentuhan lain darinya. Aku
semakin menikmati kenikmatan terindah saat kurasakan sentuhan lembut
berlendir menjilati klitorisku. Terlebih ketika kurasakan
desakan-desakan lidahnya yang mencoba menelusup menjilati
dinding-dinding bagian dalam ruang kenikmatanku itu.
"ahhh...pak..., jangan disitu pak..., kotor...kan...", desahku yang
mencoba untuk melarangnya menikmati vaginaku. Dilain hati aku
menginginkan agar lelaki itu tidak mengindahkan laranganku tadi. Siapa
sudi menolak sebuah kenikmatan yang memang selama ini belum bernah
kualami dari Fahri suamiku, demikian fikirku.
Dan hampir saja harapanku punah untuk lebih lanjut menerima sentuhan
kenikmatan dari mulut dan lidah lelaki itu. Ketika lelaki itu beranjak
menarik kedua kakiku menuju tepian ranjang, hingga kini kedua kakiku
menjuntai ditepian ranjang sementara aku amasih dalam posisi yang
terlentang.
"Cih..., saya menyukai seluruhnya dari dirimu..., bagi saya engga ada
yang kotor dari diri kamu...", ucap lelaki itu kemudian sambil terus
beranjak mendekatkan wajahnya pada pangkal selangkanganku.
Perkataannya membuatku menyadari kemungkinan bahwa lelaki itu
benar-benar menginginkanku seutuhnya, namun ada suatu ganjalan hati
untuk sekedar meyakinkanku bahwa benarkah aku wanita satu-satunya yang
bisa membuatnya menghilangkan kesepiannya diantara wanita-wanita lain
yang mungkin telah ditidurinya. Namun ganjalan hati itu menjadi tidak
penting ketika kurasakan kembali sentuhan halus tengah menggerayangi
areal kenikmatanku.
Untuk beberapa lama lelaki itu terus melancarkan jilatannya, kulumannya
pada dinding-dinding bagian dalam vaginaku dan tak luput pula klitorisku
menjadi bahan gesekan-gesekan lembut jemarinya yang terus membuatku
mendesah dan bergelinjang, sementara dengan reflesi naluriah aku telah
menaikan kakiku ditepian ranjang sehingga dengan posisi demikian aku
semakin kuasa untuk melebarkan kedua belah pahaku yang membuat semakin
menguaknya belahan vaginaku untuk dipermainkan oleh lidah lembut lelaki
tersebut.
"ahhh...benarkah pak..., benarkah cicih bisa mengisi kesepian bapak...,
ahhh...", ucapku terbata-bata ditengah desahanku, akibat rasa nikmat
akibat sentuhan lembut lidahnya pada dinding-dinding bagian dalam
vaginaku. Entah mengapa aku masih saja mengatakan ganjalan hatiku,
ditengah birahiku yang sudah meledak-ledak itu. Sementara akupun sudah
menginginkan sodokan penis lelaki tersebut yang tadi telah kulumat dan
kurasakan kerasnya pada mulutku dalam genggamanku.
Sesaat kurasakan sentuhan lidahnya telah berhenti pada areal vaginaku.
Berganti pada sentuhan hangat, lembut namun keras pada bibir-bibir
vaginaku. Tak lama, setelah kurasakan suatu desakan halus yang menyeruak
masuk dan menerobos hangatnya vaginaku. Vaginakupun merasakan suatu
kehangatan luar biasa yang berdenyut dan mampu menghapus rasa gatal
didalamnya.
"ahhh...", desahku saat menerima sodokan penis lelaki tersebut pada vaginaku. Aku telah lupa apa yang tadi kukatakan padanya.
Untuk sesaat lelaki tersebut membenamkan penisnya jauh kedalam vaginaku.
Kemudian dia kini beranjak menumpukan tubuhnya dengan kedua lengannya
dan mensejajarkan wajanya pada diriku, namun dalam kondisi demikian
bagaimanapun usahanya tetap saja wajahnya tepat berada pada kedua belah
payudaraku.
"cihhhh..., kamu memang bukan wanita satu-satunya yang mengisi
kesepianku..., tapi kamu satu-satunya wanita yang membuatku bahagia...",
ucapnya kemudian. Hebat benar lelaki ini disaat membenamkan penisnya
pada vagina seorang wanita, masih mampu berkata-kata. Namun ucapannya
itu sungguh membuatku melambung, fikiranku berkata apalagi yang
diharapkan oleh seorang lelaki disaat itu, toh saat itu pula penisnya
tengah menerobos masuk kedalam vaginaku. Aku menyimpulkan sebuah
kesungguhan darinya bahwa dirinya benar-benar menyukaiku.
"lakukan pak..., bahagiakan diri bapak sekarang juga..., nikmati diri
cicih pak...", balasku kemudian. Dan tak lama kurasakan suatu geseran
halus yang melesak-lesak didalam rongga rahimku. Semula gerakan itu
begitu lembut dan perlahan hingga lama kelamaan kurasakan
lesakan-lesakan yang semakin keras dan yang dapat kusaksikan saat Pak
Heru menjauhkan tubuh bagian atasnya dan berkonsentrasi untuk menarik
dan memajukan pinggulnya yang membuat penisnya melesak keluar masuk
kedalam vaginaku. Hal ini membuat rasa nikmat akibat gesekan-gesekan
dinding penis lelaki itu dengan dinding-dinding vagina bagian dalamku,
kenikmatanku melambung tinggi saat itu. Terlebih lagi kurasakan penis
lelaki itu semakin mengeras dan mengencang seakan-akan melebihi apa yang
telah kusaksikan tadi sewaktu mengoralnya.
"ahhh..., enak banget punya bapak...", jeritku pada akhirnya menerima
rasa nikmat yang diberikannya. Aku tak mampu menyaksikan apa yang
dilakukannya saat itu. Mataku terpejam dan hanya samar-samar melihatnya
bergerak-gerak memaju-mundurkan pinggulnya pada pangkal selangkanganku,
sementara tak kusadari lelaki itu tengah memanggul kedua belah kakkiku
sehingga pada posisi demikian aku semakin mengangkangkan kedua
selangkanganku.
"kamu juga cihhh..., engga salah dugaanku...., hhh..., punyamu ternyata
memang enak..," desahnya pula sambil tetap memaju-mundurkan pinggulnya.
Hingga beberapa saat aku tak mampu menghitung lamanya waktu yang
berjalan yang jelas kurasakan cairan nikmatku mulai tak mampu lagi
kubendung.
"ahh..., pak cicih sampai nih pak...ahh", desahku yang akhirnya kuakhiri
dengan menyemburnya cairan syahwatku membasahi vaginaku yang masih
diterobos keluar masuknya penis pak heru.
Rupanya paka heru tak perduli dengan kondisi vaginaku yang telah basah
itu. Namun untuk sesaat pak heru malah mendekatkan wajahnya pada
vaginaku dan menjilati seluruh permukaan vaginaku serta membersihkan
cairan-cairan nikmat yang telah kusemburkan tadi. Aku maklum akan
tindakannya itu maka akupun meraih tasku yang berada ditepian ranjang
dan mengeluarkan tisue kemudian mengelap vaginaku hingga kembali
kurasakan vaginaku mulai mengering.
Kini kembali pak heru beraksi menggejot pinggulnya yang membuat penisnya
keluar masuk didalam vaginaku. Aku kembali mendesah merasakan
kenikmatan yang membuatku birahiku melambung tinggi seakan-akan mencapai
langit ke tujuh. Oh..., nikmat surga dunia ini..., demikian racauan
gairah hatiku.
Rasanya kali ini aku benar-benar menerima suatu kenikmatan tertinggi,
sampai-sampai aku harus mengalami beberapa kali orgasme. Ditengahi oleh
cairan-cairan tubuhku, kusaksikan Pak Heru benar-benar lelaki perkasa
diusianya yang setengah baya itu. Bagaimana tidak, aku yang hampir
mengalami tiga kali orgasme pada posisi demikian, namun kuperhatikan pak
heru belum menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kenikmatannya.
Ditengah-tengah rasa nikmatku aku mengharus fikiranku bekerja agar bisa
memberikan kebahagiaan bagi pak heru, tapi bagaimana cara. Dan aku
memutuskan melakukan apa saja sekedar memberikan kepuasan bagi dirinya,
lagi pula sepertinya yang semula telah hinggap benih-benih rasa simpati
pada pak heru kini menjadi rasa kagum dan berkembang menjadi menyukainya
seakan hanya dia yang telah memberikan kebahagian bagiku.
Kesempatan itu terbuka saat Pak Heru menghentikan gerakan pinggulnya dan
mencabut penisnya dari lubang vaginaku, kemudian tanpa berkata-kata
lelaki itu beranjak untuk merebah dirinya disisiku dengan posisi
celentang. Aku maklum apa yang diinginkan oleh lelaki itu adalah dia
ingin aku berada diatas dengan menungganginya.
Maka akupun segera beranjak mengakangi penisnya. Dengan sebelah telapak
tanganku dan kuarahkan penis lelaki setengah baya itu pada lubang
vaginaku dan langsung meluncur menerobos lubang vaginaku. Kucoba
menekannya dan aku merasakan penisnya begitu mentok pada dinding
rahimku, kufikir ada hal yang aneh saat itu, rasanya penis tersebut
mampu memenuhi vaginaku dan mentok. Ah..., aku memutuskan untuk tidak
berfikir bagaimana hal itu bisa terjadi karena toh aku telah menerima
kenikmatannya saat itu.
Berfikir demikian akhirnya kunikmati saja apa yang telah terjadi ini,
maka segera aku naikkan pinggulku keatas secara perlahan, yang membuat
penis lelaki tersebut begitu penuh memasuki lubang vaginaku tadi menjadi
bergeser keluar menyetuhi dinding-dinding vaginaku, kemudian aku
kembali menekan pinggulku kebawah membuat penis tersebut kembali melesak
kedalam menyetuhi dinding-dindings rahimku hingga mentok.
"ahh..., benar-benar nikmat punya bapak...", desahku seraya terus
mengangkat tubuhku dan kembali menekan tubuhku kebawah, yang menjadikan
penis tersebut bergerak keluar masuk dalam lubang vaginaku. Demikian
berulang-ulang, dan kesemuanya membuat kenikmatan-kenikmatan tiada
taranya.
"ahhh..., nikmat...", desahku berulang-ulang, sementara aku naluriku
mulai bertanya-tanya apakah Lelaki inipun merasakan hal yang sama
denganku, rasa nikmat. Kucoba untuk meliriknya ditengah-tengah rasa
nikmatku sekedar ingin tahu ekspresi wajahnya apakah dia menikmatinya.
Yang kulihat bahwasannya lelaki itu nampak sesekali memejamkan matanya
dan ekspresinyapun menyatakan kenikmatan. Tapi untuk mengeluarkan cairan
nikmatnya sepertinya masih jauh meskipun diri kami telah dipenuhi peluh
yang semakin deras keluar dari tubuh kami berdua.
Entah sudah berapa lama aku menaik turunkan pantatku pada pangkal
selangkangannya, yang kurasakan aku sudah pada ambang orgasmeku untuk
yang kesekian kalinya, hingga pada batas kebimbangan sampai kapan hal
ini akan selesainya. Pada akhirnya ingatanku menerawang beberapa tahun
yang lalu aku ingat mamahku melakukan anal pada om pram, oh...,
mungkinkah aku melakukan itu pada Pak Heru, setujukah dia. Berbagai
macam pertanyaan dan alasan mendera hatiku. Pada akhirnya akupun
menginginkan sesuatu yang berbeda, sudah terlanjur basah, fikirku...
Maka secara tiba-tiba kuangkat tubuhku utnuk melepaskan penis Pak Heru dari lubang vaginaku,
"pak...cicih ingin memberikan sesuatu yang lain pada babak..., nikmati
saja yah pak...", ucapku kemudian. Dan tak lama, aku kembali menggenggam
penis lelaki itu. Segera kuatur diri agak condong kedepan kearah lelaki
itu yang masih berada dibawahku, kuarahkan penisnya menuju lubang
analku dan ketika kurasakan kepala penis lelaki itu telah menyentuh
lubang analku akupun secara perlahan menekan pantatku kebawah, hingga
kurasakan beberapa detik kemudian penisnya telah melesak masuk memenuhi
rongga-rongga lubang analku. Saat itu aku tak lagi mampu memejamkan
mataku, sakit..., namun untuk sementara. Karena kini rasa rasa sakit itu
berubah menjadi rasa nikmat yang luar biasa.
"ahh cicih..., begitu besar pengorbananmu untuk memuaskan saya....,
ah...", desah pak heru saat penisnya berhasil memasuki analku. Rupanya
tadi ketika aku mencabut penisnya dari lubang vaginaku secara tiba-tiba
sempat membuat dirinya membuka kelopak matanya yang terpejam, dan sejak
itu dia menyaksikan apa yang kulakukan terhadap penisnya itu.
"Nikmatilah pak..., tapi cicih harap bapak mau memberikan harga atas
pengorbanan cici ini...ohhh..., nikmatnya...", jawabku disela-sela
desahku, karena kini akupun telah kembali menaik-turunkan pantatku pada
pangkal selangkangannya yang membuat penisnya keluar masuk pada lubang
analku.
Tak lama kurasakan penis pak heru mengencang dan mengeras, sesaat pak heru seperti menegang,
"ahh...cicih...saya keluar sayang....ahhh...", desahnya, dan beberapa
detik kemudian kurasakan semprotan cairan hangat dengan gencar memenuhi
lubang analku. Keluar juga dia, demikian fikirku. Oh..., hebatnya lelaki
ini diusianya yang mencapai setengah abad malah mampu memberikanku
kepuasan berkali-kali.
Akupun merasa puas karena pada akhirnya mampu memberikan kepuasan pada
lelaki itu. Kurebahkan diriku yang masih berada diatas tubuhnya itu
padanya, hingga aku merasakan kedua payudaraku tergencet oleh tubuh kami
berdua. Sementara penisnya yang masih menancap pada analku
berangsur-angsur mengecil.
"terima kasih sayang..., kamu telah memberikan kepuasan pada saya, dan
tentu saja semua pengorbanan kamu akan kuhargai..., sekarang apa
keinginanmu cih...", ucap lelaki itu seraya melingkarkan lengannya pada
punggungku yang masih menelungkupi tubuhnya. Ah..., gentle juga orang
ini masih mau memberikan sesuatu padaku. Anganku melambung, seandainya
aku belum menikah dengan Fahri tentu aku akan rela menjadi pengganti
istrinya. Tapi anganku kuhentikan aku menyadari keberadaanku dahulu jauh
sebelum mengenal lelaki ini. Aku bukanlah wanita yang alergi dengan
iming-iming atau janji dari lelaki setengah baya seperti Pak Heru, namun
saat itu aku belum memiliki tujuan khusus bagi diriku selain hanya
menginkan sensasi lain yang telah diberikan oleh Pak Heru, may be
sometime...
No comments:
Post a Comment